Mohon tunggu...
Aliyya Zikrina
Aliyya Zikrina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Indonesia

A student with a big dream

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Indonesia yang Gagal Menjadi Tempat Berlindung di Hari Tua bagi Para Eksil

11 Juni 2024   12:56 Diperbarui: 11 Juni 2024   13:03 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

"What is a country but a borderless sentence, a life? ... What is a country but a life sentence?" "Apalah arti sebuah negara selain hukuman tanpa batas, sebuah kehidupan? ... Apalah arti negara selain hukuman seumur hidup?" Tulis Ocean Vuong dalam bukunya yang berjudul On Earth We're Briefly Gorgeous. Ini bisa dibilang menjadi sebuah kutipan yang paling tepat menggambarkan perasaan saya setelah menonton Eksil. Pergi ke negara asing dengan harapan untuk menempuh ilmu, berakhir dengan pengasingan oleh tanah air sendiri. Meskipun begitu, situasi tersebut tidak memadamkan semangat mereka yang terasingkan di negeri tidak dikenal tanpa jaminan waktu kapan kembali.

Diantara para narasumber utama Eksil, ada Hartoni Ubes, Tom Iljas, I Gede Arka, Waruno Mahdi, (Alm.) Asahan Aidit, (Alm.) Chalik Hamid, (Alm.) Sardijio Mintardjo, (Alm.) Kuslan Budian, (Alm.) Djumaini Kartaprawira, dan (Alm.) Sarmadji, yang termasuk beberapa pelajar asal Indonesia yang mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Presiden Soekarno untuk belajar di berbagai negara seperti Cina, Belanda, Uni Soviet, Cekoslovakia, dan negara-negara lainnya. Namun, nasib justru membuat mereka tidak dapat pulang ke Indonesia ketika Presiden Soekarno lengser pada tahun 1965. 

Hal ini terjadi pasca kerusuhan 1965 diduga didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), yang mana selanjutnya peristiwa ini bahkan juga acap kali dikenal dengan sebutan G30SPKI, singkatan dari Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia. Akibatnya, mereka yang diduga memiliki afiliasi sedikit pun dengan PKI dihabisi oleh rezim pemerintahan yang berkuasa selanjutnya dibawah Soeharto. Mereka yang tersisa mendapatkan persekusi negatif dari mayoritas warga negara Indonesia, semua dilakukan bahkan tanpa bukti yang jelas bahwa memang PKI-lah dalang sesungguhnya dibalik pembunuhan tujuh jenderal pada peristiwa tersebut. 

Diantara mereka yang mendapatkan persekusi negatif adalah para mahasiswa eksil penerima beasiswa dari pemerintahan Soekarno yang pada saat itu masih berada di negara tempat mereka masing-masing menuntut ilmu. Berada di luar negeri tidak menyelamatkan mereka dari persekusi negatif mahasiswa dan warga negara Indonesia lain yang juga berada di negara tersebut pada saat itu. Status kewarganegaraan serta izin paspor mereka dicabut oleh negara sendiri hanya karena tidak mau mengucapkan janji kesetiaan pada rezim pemerintahan selanjutnya, yang membuat mereka dianggap masih dekat dan tidak mau menanggalkan kepercayaan mereka terhadap Soekarno.

Melalui film Eksil ini, Lola bersama rekan-rekannya mengajak penonton untuk menjadi bagian dari kehidupan para Eksil di tanah tempat mereka terasingkan. Mulai dari kisah awal mereka sampai ke negara yang tanpa mereka sadari akan menjadi tempat pengasingan mereka, kondisi mereka di tempat tersebut saat terjadi kekacauan 30 September 1965 di Indonesia, kronologi pencabutan izin paspor dan status kewarganegaraan, hingga berbagai usaha mereka untuk sebisa mungkin tetap memiliki hidup yang layak setelah "dibuang" oleh negara sendiri. Film ini memberikan apa yang telah lama tertunda bagi para eksil tersebut, yaitu kesempatan narasi dari sudut pandang mereka setelah sekian lama dibungkam dan dipinggirkan opini serta suaranya.

Sebagai mahasiswa, rasanya tidak bisa tidak mengaitkan fenomena sosial yang sedang dialami dengan apa yang sedang dipelajari secara formal di lingkungan kampus. Bagi saya sendiri, saya merasa fenomena yang digambarkan melalui film Eksil ini sesuai dengan diskursus pemikiran Post-Marxisme, yang kebetulan sesuai dengan apa yang sedang saya pelajari saat ini. Secara garis besar, Post-Marxisme berbeda dengan pandangan Marxisme tradisional/klasik karena memiliki cakupan pembahasan yang lebih luas dan rinci. Akar pemikiran Post-Marxisme ini berasal dari karya pemikir seperti Louis Althusser dan Michel Foucault. Tetapi tokoh Post-Marxisme modern seperti Judith Butler (2000) dan Ernesto Laclau (1985) mengemukakan kembali dan memperbaiki/merevisi pemikiran Althusserian dan/atau Foucauldian tersebut, dimana daripada menekankan pada perjuangan kelas dan kemanusaian bagi kelompok yang tertindas, pemikir Post-Marxisme mengungkap perpecahan seksual, ras, kelas, dan etnik dalam kehidupan sosial dan hal-hal yang bersifat progresif. Pandangan Post-Marxisme menggambarkan hubungan antara rasisme dan penindasan nasional di satu sisi dan eksploitasi di sisi yang lain.

Sedangkan teori diskursus itu sendiri, apabila mengacu pandangan Foucault (1975) sebagai peletak dasar pemikiran Post-Marxisme, digambarkan sebagai sebuah konstruksi kompleks yang terdiri atas praktik pengetahuan, kekuasaan, bahasa, dan representasi yang saling terkait untuk membentuk realitas sosial dan subjektivitas. Teori ini menganalisis bagaimana bahasa dan praktik komunikasi membentuk struktur, identitas, dan hubungan sosial. Inilah yang membuat pemikiran Post-Marxisme sangat erat kaitannya dengan teori diskursus kritis, dimana keduanya memiliki hubungan yang meskipun sangat kompleks dan terus berkembang, tetapi tetap saling melengkapi satu sama lain. Sehingga singkatnya, ketika pemikiran Post-Marxisme mengkritik Marxisme tradisional yang dianggap terlalu menekankan pada aspek ekonomi, teori diskursus memungkinkan pembahasan Post-Marxisme tersebut untuk lebih memahami keterkaitan antara bahasa, kekuasaan, dan struktur ekonomi membentuk kenyataan sosial dan perjuangan politik. 

Pemikiran Post-Marxisme dalam kaitannya dengan teori diskursus menjadi menarik dalam menganalisis kisah para narasumber dalam film Eksil ini. Bagaimana sejarah di masa lampau dikontrol dan diceritakan melalui sudut pandang mereka yang "menang" dan berkuasa di masa sekarang, melihat pada kenyataannya hingga saat ini sebenarnya belum ada bukti yang menunjukkan secara jelas bahwa peristiwa 30 September 1965 memang benar didalangi oleh PKI. Namun, negara melalui berbagai praktik komunikasi seperti media massa, pendidikan, dan propaganda telah berhasil membentuk dan mempertahankan diskursus kebencian terhadap PKI. Fenomena ini bisa dibilang merupakan "keberhasilan" mereka yang berkuasa dalam menggunakan praktik komunikasi untuk membentuk dan mempertahankan diskursus sejarah sesuai kepentingan mereka. Melihat adanya pandangan anti-PKI yang masih dipegang mayoritas masyarakat Indonesia serta berbagai peraturan di Indonesia saat ini yang masih melarang adanya asosiasi dengan segala hal yang berbau komunisme meskipun bukti keterlibatan PKI dalam Peristiwa 30 September dapat dibilang masih minim.

Ditambah fakta bahwa hingga saat ini, film Eksil bisa dibilang menjadi film pertama yang sukses mengangkat kisah para terasingkan yang selama ini diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat luas, menegaskan keberhasilan penyebaran diskursus kebencian tersebut oleh mereka yang berkuasa. Film Eksil menunjukkan bahwa meskipun bahasa dan praktik komunikasi dapat dimanfaatkan para penguasa untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan mereka, tetapi praktik yang serupa juga pada saat yang bersamaan dapat digunakan untuk melawan hegemoni tersebut. 

Melalui kisah-kisah pribadi dan kesaksian para narasumber, film Eksil menyajikan perspektif alternatif yang menantang diskursus sejarah yang diciptakan oleh mereka yang berkuasa. Penggambaran PKI sebagai musuh dan ancaman bagi negara selama ini telah digunakan untuk membenarkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap para eksil. Namun, dengan menceritakan perspektif mereka, para eksil memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi publik dan menantang status quo yang selama ini diterima tanpa analisis kritis oleh masyarakat. Selain itu, film Eksil juga dapat menjadi sarana pemberdayaan bagi para narasumber yang merupakan korban kekuasaan negara pasca Peristiwa 30 September dengan menjadi ruang bagi para korban untuk menceritakan pengalaman mereka, menunjukkan ketidakadilan yang selama ini mereka alami, serta menyerukan perlakuan yang lebih manusiawi dan pengakuan terhadap penderitaan mereka.

Film Eksil ini pada akhirnya menjadi film yang sangat bermakna dan membekas bagi saya karena selain pembawaan cerita yang sangat personal ke dalam kehidupan masing-masing mereka yang terasingkan, film ini juga membangkitkan dan menyadarkan apa yang pada awalnya saya rasa sudah cukup pudar dalam diri saya, yaitu kecintaan saya pada tanah air saya, Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun