Mohon tunggu...
Ahmad Zulkarnaen
Ahmad Zulkarnaen Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Sastra Indonesia

Semangat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sains Kehidupan: Kebahagiaan dan Penderitaan

5 Januari 2021   15:44 Diperbarui: 5 Januari 2021   16:06 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Selain upaya mengatasi kematian, pada abad ke-21 ini kebahagiaan menjadi tujuan utama kedua yang dicari-cari manusia. Jika perang, kelaparan, dan wabah menghilang, jika manusia mengalami perdamaian dan kemakmuran yang belum pernah ada sebelumnya, jika angka harapan hidup meningkat, jika pandemi ini berakhir, sudah barang tentu itu semua akan membuat manusia bahagia, bukan?

Jawaban di atas bisa jadi ‘tidak,’ ketika Epicurus berkata atas definisi kebahagiaannya. Menurutnya, kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi, dia memperingatkan para muridnya bahwa dengan bekerja keras atas prestasi-prestasi material tidak akan memuaskan hidup dalam waktu lama. Epicurus berkata bahwa mencari kebahagiaan adalah bagaimana cara kita menikmati sesuatu yang ada di sekeliling kita dengan apa adanya dan tanpa ada rasa resah.

Dari apa yang dikatakan Epicurus, tampaknya orang-orang tidak bisa merasakan kebahagiaan tanpa adanya prestasi-prestasi material. Sebab, pada masa sekarang, aspek material selalu menjadi hal utama dalam perhitungan mencari kebahagiaan. Dengan itu orang-orang akan selalu bekerja lebih keras untuk mendapatkan uang lebih banyak—memiliki kebendaan dan tidak merasakan kesengsaraan. Tetapi, apakah atas kebendaan orang-orang dapat benar-benar mendapatkan kebahagiaannya?

Jika tolok ukur kebahagiaan dihitung dari banyaknya waktu bekerja tiap-tiap orang, maka orang yang bekerja keras dan mempunyai gaji besarlah yang dikatakan bahagia. Tetapi jika tolok ukur kebahagiaan dilihat dari banyaknya waktu tidak bekerja, maka orang yang memiliki banyak waktu untuk duduk-duduk sambil menikmati hidup apa adanyalah yang lebih merasakan kepuasan.

Pada abad ke-20, GDP (Gross Domestic Product) per kapita menjadi tolok ukur mengevaluasi keberhasilan bangsa. Singapura memiliki angka produktivitas lebih tinggi yang warganya menghasilkan rata-rata barang dan jasa bernilai $56.000 per tahun. Singapura dapat dikatakan lebih berhasil dari Costa Rica yang warganya hanya memproduksi $14.000 per tahun. Namun, jika GDP diganti menjadi GDH (Gross Domestic Happiness) alias kebahagiaan domestik kasar, maka yang orang-orang inginkan yaitu bukan memproduksi. Mereka ingin bahagia. Hasil survey menunjukkan bahwa masyarakat Costa Rica memiliki tingkat kepuasan hidup lebih tinggi dibandingkan masyarakat Singapura.

Dalam sains kehidupan, kebahagiaan justru tidak dilihat dari apa yang telah Epicurus katakan atau bukan dilihat dari GDP dan GDH. Hal itu merupakan ortodiksi saintifik. Sains kehidupan menyatakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan tidak lain adalah ragam keseimbangan sensasi-sensasi ragawi. Jadi, ketentuan kebahagiaan dan penderitaan bukan berasal dari peristiwa luar tubuh, tetapi hanyalah sensasi-sensasi yang ada dalam tubuh kita sendiri.

Dengan paradigma evolusioner yang ada dalam perspektif sains kehidupan—kebahagiaan dan penderitaan ada karena ditopang oleh faktor psikologis dan biologis. Pada level psikologis, kebahagiaan dan penderitaan bergantung pada realitas dan ekspektasi. Sedangkan pada level biologis, ekspektasi kebahagiaan dan penderitaan ditentukan hanya oleh sistem biokimia kita, yaitu sensasi-sensasi yang ada dalam tubuh.

Pada tanggal 1 Desember 2019, virus korona menyebar di kota Wuhan. Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan ini sebagai pandemi. Dengan sifatnya yang mudah bermutasi, virus korona menyebar ke seluruh dunia sehingga pemerintah dari masing-masing negara memberikan imbauan kepada masyarakatnya harus segera diberlakukan PSBB (Pemabatasan Sosial Berskala Besar) demi mengurangi angka penularan virus tersebut. Kekacauan mulai terjadi di tiap sudut-sudut negara, sektor perekonomian dunia lumpuh, karantina jangka panjang mengganggu kesehatan mental orang-orang dan menimbulkan penderitaan.

Tetapi, dalam sains kehidupan, pada karantina panjang ini bukan berarti orang-orang tidak mendapatkan kebahagiaan sama sekali. Di samping penderitaan, orang-orang akan tetap mendapatkan kebahagiaan dalam situasi-situasi tertentu. Dengan dicetuskannya Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional) oleh perusahaan-perusahaan e-commerce di Indonesia—dari hari perayaan belanja ini, perusahaan e-commerce tentu sangat membantu kita semua dalam melakukan aktivitas berbelanja di tengah kekacauan akibat pandemi ini melalui jalan online.

Contoh pada level psikologis dalam perayaan harbolnas 12.12 lalu, banyak orang-orang yang menunggu perayaan tersebut. Orang-orang berekspektasi bahwa barang-barang yang mereka inginkan akan dibanderol dengan harga diskon yang sangat besar. Dan pada realitasnya, ternyata barang-barang tersebut betul-betul memiliki harga diskon yang besar. Orang-orang langsung membeli barang yang diinginkannya dan tiga hari kemudian barang itu datang.

Pada level biokimia, hal ini terjadi ketika barang yang dipesan ternyata sudah datang. Setelah menerima paket yang dikirim oleh kurir, kemudian membukanya, pada saat itu juga perasaan yang dirasakan oleh orang-orang merupakan sensasi-sensasi yang menyenangkan, orang-orang itu mendapatkan perasaan yang senangnya bukan main. Di situlah salah satu contoh dari kita atau orang-orang mendapatkan kebahagiaan ekstase; maksudnya, bukan karena barang sudah kita terima dan dibuka, tetapi sesungguhnya pada saat itu orang-orang sedang merasakan badai sensasi yang ada dalam dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun