Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Thing... Thing... Thing... Es: Abang-Abang Setrop, Abang-abang Lambe

21 Mei 2021   08:11 Diperbarui: 21 Mei 2021   08:22 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Thing...thing...thing Es, Abang-abang Setrop: Abang-abang Lambe

JC Tukiman Tarunasayoga

            Berbagi "model pergaulan" tempo dulu dan zaman now, rasanya tetap bermanfaat karena realitas sosial dulu dan sekarang tidak jauh-jauh amat, bahkan beberapa hal secara substansial tetap sama,  hanya berbeda kemasannya saja. Kemasan di tempo dulu segala sesuatunya disampaikan secara lisan (verbal), sedang kemasan zaman now model lisan nyaris ditinggalkan karena maraknya tulisan berhubung membahananya media sosial berikut teknologinya.

            Dulu, di masa kecil saya, salah satu model pergaulan yang menarik (karena itu teringat terus sampai sekarang), ialah nganggo pasemon, nyemoni, yakni secara lisan berkata-kata terbungkus, berisi sindiran halus, apresiasi, atau pun bahkan nasehat. Kalau ada seorang teman mengenakan baju baru, padahal hari itu hari biasa saja (bukan hari penting/raya), teman-teman pasti akan berkata: Dara mangan pari, ......  dara mangan pari: Durung bada wis nganyari. Teman-teman memberi apresiasi karena baju Badu baru. Di beberapa tempat apresiasinya berbunyi "Isih mambu toko/pasar," aroma anyarnya masih tercium.

            Jika suatu saat Dadap bercerita aneh-aneh (baca: lebay), teman-teman akan berucap: "thing...thing...thing Es, abang-abang setrop," sebagai ungkapan tidak memercayai apa yang sedang diceriterakan Dadap. Bagaimana mau percaya karena Dadap cerita mendapat kiriman wesel dari Jakarta, padahal teman-teman tahu bahwa Dadap tidak memiliki sanak-kadang yang  ada di Jakarta. Kalau sedang bersepeda bersama, ungkapan thing....thing....thing...es, diganti dengan kring...kring ...kring es (membunyikan bel sepedanya) untuk menyindir betapa Dadap  sedang cerita bohong, ngayawara, ngarang; atau di zaman now mirip-mirip dengan "sedang menyebar hoax." Mengapa dulu ungkapan thing...thing...thing es, disambung dengan abang-abang setrop (sirop)? Siapa saja baru saja minum sirop, bibirnya pasti berwarna merah seperti seseorang yang pakai gincu (lipstick).  Memakai gincu konon dikonotasikan "bohong."

            Dalam tataran pergaulan dan percakapan yang lebih bercorak budaya (baca: halus), celoteh abang-abang setrop itu bersenyawa dengan ungkapan "kanggo abang-abang lambe," sebuah peribahasa (sekurangnya sebuah ungkapan) melukiskan fakta sehari-hari. Tempo dulu maupun zaman now, amatlah banyak orang yang dalam pergaulan (percakapan) sehari-harinya penuh dengan model pergaulan "kanggo abang-abang lambe" belaka. Ada dua arti "kanggo abang-abang lambe" ini, yaitu (i) kanggo samben guneman (untuk mengisi omong kosong), orang cenderung membicarakan situasi terkini (termasuk orang) seraya melihatnya dari sisi kekurangan atau negatifnya; dan (II) kanggo lelamisan. Arti kedua inilah yang cetar membahana di zaman dulu maupun lebih-lebih sekarang ini.

            Kanggo lelamisan, artinya sekedar bahkan asal ikut bicara agar dianggap tahu dan tidak ketinggalan zaman (informasi), menjadi fenomena sosial cukup memrihatinkan. Orang tidak banyak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di suatu instansi, misalnya; namun agar tampak bahwa dirinya tahu, nimbrunglah dia dengan tulisan-tulisannya yang sejatinya mung kanggo abang-abang lambe. Hal  yang sama dapat terjadi lewat berbagai pendapat "kanggo abang-abang lambe" atas konflik yang sedang terjadi antar dua kelompok  di nun jauh di sana: Berapa orang yang tahu persis permasalahannya? Pasti sangat sedikit, namun karena terdorong oleh hasrat "kanggo abang-abang lambe," yah.....hebohlah dan berseliweranlah stigmatisasi.

            Dalam kondisi sedang senang terhadap "kanggo abang-abang lambe" seperti ini; memang sedang tibalah situasi: "Sing ngerti ora ndang omong-omong, sing (akeh) omonge jane ora ngerti." Ungkapan ini menggunakan model ungkapan dulu ketika di mana-mana terdengar: "Sing tuku ora teka-teka, sing teka ora tuku-tuku."  Inilah thing....thing....thing es, abang-abang setrop; sebuah pantun zaman now: Jane ora ethes, nanging bergaya top markotop.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun