Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Klimaks Perseteruan: Sapa Sira Sapa Ingsun

26 Maret 2021   10:04 Diperbarui: 26 Maret 2021   10:16 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Klimaks Perseteruan: Sapa Sira Sapa Ingsun

JC Tukiman Tarunasayoga

                   Terhadap orang/pihak yang sedang berseteru, pendekatan hukum bahkan dipertegas dalam  pendekatan agama, selalu ada saran: Berdamailah sebelum memasuki ranah pengadilan, karena klimaks pengadilan pasti akan ada pihak/orang yang menang;  dan karena itu pasti ada pihak/orang yang kalah. Terlalu amat sangat jarang  putusan pengadilan menyebutkan si Badu menang, demikian pula si Dadap menang.

                   Pertanyaan yang sering muncul (atas dasar bukti lapangan) ialah: Mengapa orang/pihak yang saling dan sedang  berseteru cenderung ngotot tidak mau berdamai dan lebih senang beperkara?   Analisis awam saya mengatakan, pertama, baik pihak Badu maupun pihak Dadap ingin menang 100 persen, dan tidak mau hanya menang 50 persen. Bukankah,  ketika menempuh jalan damai pasti cenderung dibawa ke kesepakatan menuju win-win solution? Dalam semangat "harus menang 100%" itulah tagline-nya, antara lain: "Ora sudi!!"  dan dalam kosakata internet tertulis "ajangangsi.com"  Kedua, tersulut emosi "moh kalah" tersebut, ada gejolak panas dalam diri pihak/orang berseteru, yakni: "Aku itu pihak yang benar, dia yang jelas salah." Badu berkata begitu, Dadap petentengan juga bersikap begitu.

                   Ketiga,  ada semacam kebiasaan (jelek??), semangat "moh kalah" tadi, diperparah oleh bisikan kanan-kiri yang membujuk-bujuk: "Aja gelem," atau "Jangan mundur sejengkal pun," bahkan sering lebih keras lagi bujukannya: "Maju terus, kamu pasti menang, aku tahu kartu mati dia." Dengan kata lain, keengganan berdamai dilandaskan pada keyakinan "Aku pegang kartu As." Dan keempat, mokong tidak mau berdamai karena sudah terlanjur basah. Bagaikan orang melintasi banjir, semula jingkat-jingkat seraya menyingsingkan celana, tetapi karena makin dalam, basah jugalah akhirnya. Telanjur basah, kepalang balik kanan; maka terus sajalah. Dalam "kebasahannya" itu baik Badu,  baik pula Dadap bergumam: "Sapa sira, sapa ingsun:" siapa lu, siapa gue.

                   Adagium Sapa sira, sapa ingsun sangat manusiawi dipakai sebagai senjata pamungkas bagi Badu dan Dadap. Di dalam pergulatannya,  Badu pasti akan membuat "daftar jasa atau posisi kuat" yang pernah dia lakukan/alami. Hal yang sama terjadi pada diri Dadap. Sangat boleh terjadi, sapa sira sapa ingsun, mengerucut pada narasi tentang masa lalu masing-masing; kekuatan dan lebih-lebih kelemahan-kelemahannya, dan pada suatu ketika nanti semua itu "akan diledakkan." Badu dapat saja mengatakan: "Kalau bukan karena aku, si Dadap itu bukanlah apa-apa atau siapa-siapa." Sebaliknya Dadap dalam daftarnya mungkin menulis: "Pada tahun Anu, kalau saja tidak saya bemperi, Badu pasti sudah hilang tak berbekas." Mendaftar atau mengalkulasi jasa, posisi, sumbangan, dan entah apa lagi lainnya; dan itulah daftar isi Sapa sira, Sapa ingsun.

                   Sapa sira, sapa ingsun adalah klimaks bagi orang/pihak yang sedang berseteru, dan entah kapan klimaks itu akan bergerak melandai. Bagaikan virus Corona di masa pandemi ini, naik turunnya kasus analog dengan proses klimaksnya sapa sira sapa ingsun.  Meski pun sedang berada dalam klimaks sapa sira sapa ingsun; tetap saja relevan mengingatkan Anda si Badu dan si Dadap: "Berusaha berdamailah kalian." Dan pertanyaan pamungkas yang perlu Anda dengar ialah: "Kalian mencari apa?"

                   Jujur saya menduga, baik si Badu maupun si Dadap akan menjawab pertanyaan pamungkas itu sama, yakni: "Aku mencari hidup." Nah ............dalam rangka "mencari hidup" itulah, silahkan kalian berdamai, karena hanya dengan berdamailah kalian akan hidup, sedangkan kalau kalian beperkara, suatu keniscayaan salahsatu akan mati. Tiwas berdarah-darah dan berklimaks sapa sira sapa ingsun seraya menabur pernyataan yang saling menyakitkan, jebul nantinya ada yang "mati." Muspra temen kalau seperti itu  yang (kelak) akhirnya terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun