Among Slira dan Kesombongan Ontologis
JC Tukiman TarunasayogaÂ
Secara ontologis (ontologi ialah esensi dari apa pun atau siapa pun, the essence  of things) setiap individu manusia itu sombong. Tegasnya, bawaan lahir setiap orang itu sombong; maka tidak perlu heran kalau di mana saja kita menjumpai atau berjumpa dengan orang sombong. Orang-orang bijak pandai, -meski konon sering diajarkan agar mengikuti ilmu padi, makin berisi makin menunduk- , ternyata juga sombonge pol.Â
Contohnya, "hanya dokter yang tahu dan menguasai tentang kesehatan; bagaimana jadinya kalau menteri kesehatan bukan seorang dokter?" sementara, Â ia selalu lupa bahwa setiapkali akan memeriksa seseorang, ia hanya "tanya mulu" tentang: Apa yang dirasakan, sudah berapa lama, bagian mana yang dirasakan sakit, punya riwayat sakit apa, dsb. Kalau memang ia paling menguasai kesehatan, mengapa tanya-tanya mulu? Bukankah itu berarti orang yang paling tahu kesehatan, ya sebenarnya orang yang merasa sakit itu, logis kan? Inilah bukti kesombongan ontologis itu, dokter bisa sombong, polisi bisa sombong, tentara bisa sombong, pejabat sipil tidak sedikit yang sombonge pol, dst.dsb.
Belum lagi kalau orang merasa tersinggung, waduhhhhhh........sikap sombonglah yang (umumnya) pertama-tama dipertontonkan: kalau kebetulan sedang membawa senjata, nah senjatanya yang dipakai sebagi simbol kesombongan; kalau orang merasa uang/kekayaan adalah barang yang paling dibanggakan, sombonglah ia di hadapan orang yang dipandangnya miskin. Bahkan, baru-baru ini ada contoh, pembeli  di pompa bensin dengan sombongnya meludahi karyawan pompa bensin gara-gara diperingatkan agar memakai masker. Edan ora kuwi? Sebenarnya sangat edan, sangat tidak masuk akal bila diperbandingkan antara teguran pegawai pompa bensin di satu sisi dengan tindakan pelanggan yang sombong banget itu (meludahi).
Among slira
Mengapa gawan bayi orang itu sombong? Bahkan tidak salah-salah amat kalau saya sebutkan betapa semakin orang itu pinter atau merasa tambah pinter, ia akan semakin sombong dengan dalih "tanggung jawab akademik atau profesionalitasnya?" Semoga yang saya katakan ini salah dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, sebelum melanjutkan, silahkan Anda tertawa dulu, minimal senyum kecut atas seloroh ini: "Orang zaman now memang sukanya meributkan apa saja, padahal dulu, bertahun-tahun lamanya, ada tokoh tertentu yang selalu menjadi Menteri Penerangan, padahal dia bukan lampu." Â
Salahsatu kajian ontologis atas pertanyaan "Mengapa orang suka (dan harus?) sombong" ialah, karena dalam diri setiap orang (apalagi kalau pola asuh yang diterimanya kurang tepat) berkembanglah yang disebut among slira, among raga. Dalam batas-batas tertentu, setiap orang memang harus menjaga diri sendiri sedemikian rupa jangan sampai dirugikan oleh pihak mana pun terkait sejumlah hal, misalnya menyangkut keamanan diri, kesehatan, harta milik, kehormatan, dan sebagainya.Â
Akan tetapi, orang akan berkembang semakin egois, termasuk tentu saja bersikap sombong dan menyombongkan diri, manakala ia hanya selalu ngrembug awake dhewe. Itulah makna among slira/among raga, yakni orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, kalau berbicara apa pun dan dengan siapa pun, ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Orang semacam ini pasti perkembangan ke depannya akan selalu mementingkan dirinya sendiri dengan sikap sakepenake dhewe. Â
Jadi, among slira bermula dengan makna baik,  karena siapa pun harus "menjaga dirinya sendiri," namun cenderung menumbuhkan sikap diri yang sombong dan sakepenake manakala  orang itu (dan kelompok itu) dari hari ke hari lalu menikmati keistimewaan dan kenyamanan-kenyamanan, bahkan keberadaannya semakin dikenal, kibaran benderanya semakin tinggi. Belum lagi kalau pihak lain "semakin minder atau takut," nah ....menjadi-jadilah sikap sombong lan sakepenake tadi.
Among slira yang intinya adalah ngrembug (lan mung mikir) awake dhewe tentu saja berakar dari pola asuh orangtua dan lingkungan. Dan sebagaimana kita ketahui, dalam kenyataan hidup sehari-hari, pola asuh itu terbawa sampai ke masa tuanya setiap orang/individu. Jika pola asuh yang diterimanya ternyata menjadikan ia "sombong," ia akan menjadi pribadi yang sikapnya sombong di mana pun dan kapan pun. Lingkungan atau kelompok juga menjadi bagian dari pola asuh itu; dan apabila kelompok hanya selalu ngrembug awake dhewe, tidak mustahillah kalau mengesankan betapa sombongnya orang atau kelompok itu.
Apa yang terbaik dan sebaiknya dihindari agar among slira tidak "menyuburkan" rasa sombong diri? Jawaban singkat atas pertanyaan ini, ialah pentingnya kita kembali ke esensi kehidupan ini, yakni kesadaran sosial betapa kita ini hidup dalam kebersamaan dan keanekaragaman. Individu polisi maupun institusi kepolisian tidak hidup sendiri(an), seorang dokter dan institusi kedokteran tidak hidup dan berkembang sendiri(an), dan seterusnya dan sebagainya; dan jika kesadaran ontologis semacam itu terus berkembang, niscaya semakin tidak berkembanglah kesombongan-kesombongan yang tidak perlu oleh pribadi atau instansi apa pun.
-0-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H