Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bernalar Kritis Vs Pola Asuh Berdamai (1)

20 Desember 2020   06:54 Diperbarui: 20 Desember 2020   07:30 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bernalar Kritis  Vs Pola Asuh Berdamai  (1)

 JC Tukiman Taruna

Tantangan meningkatkan kompetensi peserta didik (siswa) di era pandemi Covid 19 ini, terletak pada tarik-menarik dua kutub, yaitu (a)  kutub tetap penting merangsang siswa bernalar kritis, dan (b) kutub perlu adanya model pola asuh berdamai dalam diri guru dan orangtua.  

Memang beberapa waktu yang lalu, Kemdikbud telah merumuskan tantangan peningkatan kompetensi peserta didik ke dalam enam ranah berikut: kreativitas, kolaborasi, kemampuan kerjasama, kemampuan memroses informasi secara kritis, kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan berempati. Waktu itu disebutkan, landasan untuk keenam ranah itu ialah perlunya seluruh proses pendidikan mengembangkan penalaran kritis bukannya hafalan. 

Tegasnya, semua peserta didik di jenjang mana pun perlu didorong untuk semakin berkembang penalaran kritisnya dan jauhkanlah dari sekedar menghafal belaka. Di sinilah pola asuh guru dan terutama orangtua sangat besar kontribusinya, yaitu pola asuh berdamai. 

Dilema besarnya ialah, di saat pandemi ini segala sesuatu tampaknya serba darurat, serba gerak cepat, dan serba harus mengambil keputusan. Bagaimana mungkin guru dan orangtua justru harus semakin berdamai (kompromi?) di kondisi serba berubah cepat ini? Artinya, dalam kondisi pandemi sekarang ini idealisme pembelajaran yang mengutamakan pengembangan penalaran kritis dan tidak sekedar menghafal "runtuh" dan serba dilematis bagi guru dan orangtua.

Bernalar kritis 

Penalaran kritis atau bernalar kritis kiranya semakna dengan Analisis Wacana Kritis (AWK) atau dalam ungkapan lainnya disebut dengan Critical Discourse Analysis.

Shierly Novalita Yappy (Basis, No 07-08. 2019)  menulis cukup panjang tentang AWK, intinya: AWK itu metode sekaligus teori, karena sebagai metode AWK itu menyediakan kerangka analisis, sedangkan sebagai teori AWK berfungsi sebagai alat mengintrepretasi sekaligus membedah pokok bahasan.

Misi utama yang diemban AWK ialah (a) membantu menyuarakan mereka yang "didiamkan," dan (b) memunculkan mereka yang "ditiadakan." Atas beban misi itu, maka tugas utama AWK adalah menelaah "dominance" atas banyak hubungan yang asimetris dalam kehidupan ini, seperti hubungan asimetris kekuasaan dan penyalahgunaannya, konsep kesetaraan dan fakta ketidaksetaraan, marginalisasi, dll.

Seperti ditulis Shierly, ada empat pilar AWK, yakni kritis, ideologi, kekuasaan, dan teks. Makna kritis, atau tepatnya menjadi kritis, sekurangnya memiliki pengertian berikut, pertama, orang akan bisa bernalar kritis jika mengambil jarak. 

Kedua, orang akan semakin terampil bernalar kritis jika mampu mengaitkan data/fakta dengan praktik dan konteks sosial sehari-hari; ketiga, kemudian orang mengambil sikap yang jelas atas data/fakta itu; dan keempat, orang secara terus menerus melakukan refleksi diri dan mampu menelaah baik  proses maupun hasil yang dicapainya. 

Dengan kata lain, bernalar kritis berarti mengasah kemampuan untuk menelaah dan memaknai hal-hal yang selama ini tersembunyi atau terselubung dalam/dari ilmu pengetahuan atau pun kenyataan hidup sehari-hari.

Pokok pikiran bernalar kritis di atas, bila diterapkan ke dalam konteks pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan, sebutlah contohnya dalam pembelajaran, ada beberapa kata kunci kita temukan. 

Satu, siapa pihak paling "dominance" dalam pembelajaran sudah sangat  jelas, yaitu guru dan orangtua. Dominasi dan otoritas guru (dan orangtua) sangat jelas, dan memang menjadikan siswa/anak "tidak bisa berbuat lain" kecuali mengiyakan, justru di saat-saat seperti ini. 

Dua, pembelajaran daring (dan mulai Januari 2021 akan ada pembelajaran tatap muka secara terseleksi) memberikan peluang bagi semua siswa untuk "mengambil jarak" dalam arti memperoleh cukup banyak waktu untuk mengaitkan fakta hidup yang sedang dialaminya dengan pengetahuan yang sedang dipelajarinya. 

Dan tiga, ada waktu bagi guru dan orangtua untuk membuat refleksi tentang proses pembelajaran setiap harinya serta hasil yang diperoleh.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun