Kedua, orang akan semakin terampil bernalar kritis jika mampu mengaitkan data/fakta dengan praktik dan konteks sosial sehari-hari; ketiga, kemudian orang mengambil sikap yang jelas atas data/fakta itu; dan keempat, orang secara terus menerus melakukan refleksi diri dan mampu menelaah baik  proses maupun hasil yang dicapainya.Â
Dengan kata lain, bernalar kritis berarti mengasah kemampuan untuk menelaah dan memaknai hal-hal yang selama ini tersembunyi atau terselubung dalam/dari ilmu pengetahuan atau pun kenyataan hidup sehari-hari.
Pokok pikiran bernalar kritis di atas, bila diterapkan ke dalam konteks pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan, sebutlah contohnya dalam pembelajaran, ada beberapa kata kunci kita temukan.Â
Satu, siapa pihak paling "dominance" dalam pembelajaran sudah sangat  jelas, yaitu guru dan orangtua. Dominasi dan otoritas guru (dan orangtua) sangat jelas, dan memang menjadikan siswa/anak "tidak bisa berbuat lain" kecuali mengiyakan, justru di saat-saat seperti ini.Â
Dua, pembelajaran daring (dan mulai Januari 2021 akan ada pembelajaran tatap muka secara terseleksi) memberikan peluang bagi semua siswa untuk "mengambil jarak" dalam arti memperoleh cukup banyak waktu untuk mengaitkan fakta hidup yang sedang dialaminya dengan pengetahuan yang sedang dipelajarinya.Â
Dan tiga, ada waktu bagi guru dan orangtua untuk membuat refleksi tentang proses pembelajaran setiap harinya serta hasil yang diperoleh. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H