Adu Rasa (Semu) Dalam Ujicoba Vaksin Covid 19
JC Tukiman Tarunasayoga
Terkait ujicoba vaksin Covid 19, -lagi-lagi membuktikan- , betapa dalam diri manusia itu memang bersarang yang disebut kontradiksi permanen (Kompasiana, 12 Des): Mari kita ingat kembali semangat semua pihak untuk membasmi Covid19, yakni harus dilawan vaksin, maka Negara bertanggungjawab mengusahakan ketersediaannya. Setelah saat ini vaksin itu tersedia dalam jumlah terbatas, bahkan sudah ditentukan batasan usia bagi penerima vaksin pada tahap ini, ehh...........ribut lagi dengan model adu rasa atau adu semu  terkait siapa harus menjadi orang pertama ujicobanya.
Entah berkelakar, entah pula serius (apa pun motivasinya, tetapi sangat kurang pas), ada yang mengatakan "Yahhh presidennya dululah yang harus menjadi orang pertama ujicoba vaksin." Ada juga lalu berseliweran ulasan tentang pihak-pihak yang harus menjalani ujicoba, entah pendapat yang menyebutkan justru para tenaga medislah yang harus pertama-tama ujicoba karena mereka yang konon paling "dekat" dengan bahaya virus ini. Ada juga ulasan menyebutkan para pejabat front liner-lah yang harus segera ujicoba (ASN, POLRI, TNI, dll).
Intinya, berkembanglah semerbak nan tidak wangi adu rasa (adu semu), dan hal itu justru terjadi di antara tokoh dan pejabat, malah ada yang lantang mengatakan keraguannya tentang vaksin yang sudah didatangkan/dibeli itu. Piye ta iki? Tidak kurang yang, -salahsatu tidak sedapnya di sini- , saling sindir, pejabat A menyindir pejabat G, dan karena diwarahi (dikasih contoh), lalu soal siapa orang yang harus ujicoba vaksin berkembang saling lempar, saling sindir, saling merasa bukan pihak yang terdepan dalam hal penanganan Covid19. Amit-amit jabang bayi.....!!!
Adu rasa/adu semu maknanya ialah padha-padha pasang rasa, pasang semu (pasemon), dan memang ujung-ujungnya adalah saling sindir tadi sebagai katalisatornya. Ketika berhadapan hal yang benar-benar serius, sementara ada  "rasa takut massal" menghadapinya; siapa pun lalu berusaha mencari klep-klep pengaman, dan dalam konteks vaksin Covid19, -sayangnya-, klep pengaman itu saling sindir, nganggo pasemon.
Mengapa model adu rasa/adu semu ini kurang baik dilakukan? Kalau saling sindir, saling nyemoni nantinya tidak berhasil, senjata terakhir yang akan digunakan orang umumnya adalah adu sungut. Jangankan antar manusia, bahkan antar hewan pun kalau sudah masuk tahapan adu sungut, yang kemudian ditampilkan adalah adu kekuasaan atau adu kekuatan, karena adu sungut itu menggambarkan dan mengarah ke sedang terjadi congkrah. Â
Jalan keluar
Mengatasi adu rasa/adu semu (jangan sampai berkembang ke adu sungut) mendesak dan sangat mendesak kita sepakati saja jalan keluar terbaiknya. Dan dalam hal ini, saya mengusulkan salahsatu jalan keluar, yakni mencari relawan yang usianya sudah disebut lansia. Usia saya sudah di atas 70 tahun, puji Tuhan, dan saya mendafttarkan (kalu memang dibuka pendaftaran itu) untuk menjadi penerima vaksin itu dalam rangka ujicoba. Rasanya tidak sulit mencari lansia sehat untuk bersedia menjadi relawan ujicoba vaksin. Logika yang ingin saya bangun dan usulkan ialah: Kalau lansia sehat saja siap menerima uji coba, dan kelak berhasil baik, pastilah vaksin itu akan sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi mereka yang berada dalam usia produktif; termasuk kelak untuk anak-cucu kita manakala ketersediaan vaksin itu semakin menyukupi.
Satu hal patut kita catat bersama, hendaknya ujicoba vaksin jangan dilakukan kepada mereka yang TAKUT. Orang yang berada dalam ketakutan, bukan saja tidak siap, tetapi juga sangat drop mentalnya. Tingkat keberhasilan ujicoba vaksin dipertaruhkan manakala orang berada dalam ketakutan. Jangan  dilakukan kepada yang takut; sebaliknya cari relawan yang tidak mengalami rasa takut apa pun.
-0-