Fenomena Pilkada, "Nandur Wiji Keli"
Oleh Tukiman Tarunasayoga
Tahapan Pilkada, -pestanya Rabu 9 Desember 2020 nanti-, baru saja dimulai  lewat pendaftaran dan penetapan pasangan calon; dan itu berarti "bola Pilkada" sekarang ini ada di tangan KPU dan (para) pasangan calon, serta parpol pendukung. Akronim yang lalu menjadi  keren saat-saat ini tentulah Cagub/cawagub, cabup/cawabup, dan cawalkot/cawawalkot.Â
Siapa saja mereka itu, masih sulit dihafalkan oleh khalayak; namun kalau zonanya terbatas di daerah masing-masing, entah itu di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing,  "nama baru"  pasangan calon itu pasti mulai dikenalkan dan dikenal masyarakat. Di wilayah kabupaten saya misalnya, bertebaran di mana-mana "nama baru" NgeBas dan BiSon dengan berbagai variasi penulisannya (ada yang menulis Nge-Bas atau Ngebas; dan  Bi-Son atau Bison), dan pada waktunya nanti "nama baru" itu pasti akan dilengkapi nomer undiannya.
Contoh di atas adalah salah satu fenomena Pilkada, dan fenomena itu dapat dipastikan terjadi di seantero Nusantara, terutama di daerah yang memang sedang melaksanakannya. Fenomena lainnya saya jadikan judul tulisan ini, ialah "nandur wiji keli."Â
Bacalah keli seperti Anda mengucapkan keki atau hepi, dan keli itu artinya ikut/terbawa aliran air; sehingga secara utuh "nandur wiji keli" terjemahan lurusnya ialah menanam biji yang (ditemukan) terbawa aliran air. Ada pun makna yang terkandung dalam "nandur wiji keli" itu ialah "ngopeni turune wong luhur," yaitu merawat/meneruskan garis keturunan orang bermartabat. Dalam bahasa politik, itulah yang sering disebut dengan nepotisme.
Siapa itu "wong luhur" dalam konteks kemasyarakatan kita? Meski di satu daerah mungkin saja berbeda dari daerah lain; seseorang disebut "luhur" jika ia memang memiliki garis keturunan ningrat/priyayi, atau orangtuanya sedang pegang jabatan/kekuasaan, bahkan belum tentu orangtuanya yang sedang pegang jabatan, saudara dekat atau saudara jauh pun bisa juga diakuinya." Malahan ada yang mengaku-aku punya garis kedekatan dengan wong luhur karena merasa satu desa. Boleh-boleh saja, silahkan!
Memaknai  "wong luhur" memang sangat longgar dan bebas, dan dalam konteks Pilkada semata-mata terserah kepada parpol pendukungnya: Kalau si calon memang dianggap tinggi nilai jualnya, ya silahkan saja si calon  itu dikait-eratkan dengan entah pejabat yang sedang pegang kuasa, entah pula dicari-carikan tautannya. Intinya, "ngopeni turun-e wong luhur" dipandang dapat lebih mendongkrak nilai jual calon.
Pertanyaannya, apakah "nandur wiji keli" betul-betul identik dengan nepotisme? Sejauh saya mengerti, nepotisme selama ini dimaknai secara "kurang seimbang" dalam arti lebih kearah sisi negatifnya katimbang "nandur wiji keli" yang lebih longgar, bebas, dan tidak cenderung konotatif mengarah ke penguasa semata seperti yang dimaknai pada nepotisme.Â
Dengan kata lain, nepotisme rasanya selalu dilekatkan kepada dia (calon)  yang dipandang dekat dengan orang yang saat ini sedang berkuasa  (anak, menantu, ipar, kemenakan, dan lainnya); sedangkan "ngopeni turun-e wong luhur" bisa jadi "wong luhur-" nya sudah kadaluarsa, sudah  "game over" bahkan mungkin saja baunya sudah tidak terasa.
"Nandur wiji keli" memang fenomenal, dalam arti "uwis ya uwis," karena sangat temporal sekali. Maksudnya, kepentingannya hanya sebatas Pilkada belaka; kalau nanti menang dan menjabat ya syukurlah meski pun orang segera lupa "wong luhur" yang kemarin-kemarin dibawa kemana-mana. Kalau kalah, -apalagi-, "mulih ngarit" yaitu kembali menjadi rakyat jelata, kalau kemarin-kemarin beternak, ya kembali menjadi peternak lagi  (kalau modalnya masih ada).Â