Mohon tunggu...
Rena
Rena Mohon Tunggu... Freelancer - nama asli

pecinta proses dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlahan Tapi Pasti Berubah

30 Mei 2017   13:06 Diperbarui: 30 Mei 2017   13:09 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perubahan suatu tempat dari waktu ke waktu, tidak bisa terelakan, memang. Zaman berubah. Beberapa kalangan tidak mau repot-repot mencari variable penyebab. Beberapa mungkin hanya iseng berspekulasi, ada juga yang meneliti, baik karena tuntutan tanggung jawab atau karena rasa ingin tahu. Hasilnya pun beragam. Namun yang jelas, spekulasi dari kalangan iseng mungkin tidak akan selalu dangkal. Dan apabila dari kalangan peneliti hasilnya dangkal, itu kebangetan.

Seperti perubahan kota pendidikan DIY yang tertulis di situs Tirto.id, wawancara dengan Ardito Bhinadi mengatakan bahwa DIY sudah berubah, utamanya masalah biaya hidup dan biaya pendidikan. Saya sendiri berasumsi bahwa DIY mungkin adalah sebuah tempat dengan biaya konsumsi penduduk paling rendah se Indonesia. Sebagaimana asumsi, ini hanya spekulasi dangkal, perspektif dugaan. Saya sendiri berkunjung ke DIY sekitar tujuh tahun yang lalu dan menetap disana untuk kurang lebih satu minggu. Yang membuat saya senang memang ketika harga jus apel harganya Cuma Rp. 2000 saja. Kocek Rp. 15.000 cukup untuk makan sehari tiga kali, dengan lauk yang memenuhi kaidah empat sehat lima sempurna. Surga!

Sekarang, katanya sudah berubah (informasi berdasarkan asumsi), dan dikuatkan oleh beberapa hasil penelitian dan wawancara kalangan berpendidikan. Saat saya tanya beberapa teman yang melancong maupun menetap di DIY sebagai mahasiswa, jawabannya pun berbeda. Teman-teman yang melancong berkata makanan lebih murah tapi perbedaannya tidak terlalu kentara. Adapun jawaban teman-teman yang pernah menetap dan menyandang status mahasiswa ada juga yang bilang sama saja seperti kota yang lain, atau murah bangeet, bray!

Namanya juga kesan, itu hanya menjadi referensi untuk ditindak lanjuti oleh kalangan peneliti, dan akhirnya banyak artikel hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa DIY sudah berubah. Predikatnya kurang tepat jika tetap disebut kota pendidikan karena mall-mall, apartment dan hotel sudah menciptakan citra yang lain, dan ini berdampak terhadap banyak aspek, utamanya ekonomi.

Ini memang meninbulkan banyak pertanyaan dikepala saya. Apakah bangunan mall, apartment dan hotel benar-benar menghapuskan citra pendidikan? Apa sebenarnya yang menjadi ciri-ciri kota pendidikan? Apakah dari banyak nya penyandang status mahasiswa? Atau karena hal lain? Apakah mall tidak boleh dibangun disana? Bukankah mall tidak selalu mudharat? Tentu ada dampak positif nya juga kan?

Tapi wawancara Tirto.id dengan Ardito Bhinadi membuat saya sedikit paham pentingnya mempertahankan predikat DIY sebagai kota pendidikan. Perubahan menuju predikat kota urban menciptakan kesenjangan, meskipun DIY memang sudah menjadi kota urban sedari dulu karena banyaknya mahasiswa rantau.

Mereka berkumpul di satu tempat, khususnya mahasiswa, yang memiliki gaya hidup dan pemikiran berbeda. Saat mayoritas memang mahasiswa kalangan menengah atas, semua fasilitas dan harga akan menyesuaikan. Apalagi sistem ekonomi liberal cenderung memakai harga yang di pukul rata, mengikuti trend, karena apabila tidak, bisnis bisa gulung tikar.

Saat kalangan menengah atas ini menjadi pangsa pasar terbesar, pasar tentu menarget mereka (menggunakan logika ekonomi pasar bebas). Siapa yang menarget kalangan menengah bawah? Ada saja, tapi cuma beberapa dan keuntungannya mungkin tak seberapa. Tak jarang si para penyedia fasilitas ini ikut meningkatkan nilai fasilitas mereka (bagi yang punya modal), menarget kalangan menengah atas, yang harganya diatas harga untuk kalangan menengah bawah. Sementara DIY tetap menjadi kota pendidikan yang diharapkan mampu mengakomodasi semua kalangan.

Ini sudah terjadi. Wajar bila kota pendidikan menciptakan banyak demonstran yang menuntut kebijakan proteksi ekonomi kalangan menengah bawah yang bertahan hidup disana. Kosan murah sudah jarang. Warteg murah ganti jadi kafe dan restoran. Dulunya angkringan buat diskusi, sekarang jadi kos-kosan eksklusif yang harga perbulannya sama dengan harga bayar kuliah per semesteran. Kalo gak minta peningkatan uang saku sama orang tua di kampung, gimana lagi?

Setidaknya itulah yang saya dapat dari artikel tirto.id, mengingatkan saya atas kesenjangan yang diciptakan oleh ekonomi liberal, yang sebenarnya bisa jadi positif, tapi dampak negatifnya jarang diperhatikan untuk kemudian dicegah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun