Mohon tunggu...
Rena
Rena Mohon Tunggu... Freelancer - nama asli

pecinta proses dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Soft Power" dan "Cultural Diplomacy" Itu Bukan Hal Baru

27 September 2017   19:38 Diperbarui: 27 September 2017   22:07 2645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.britishempire.co.uk

Saya berada diruangan, tepatnya dalam sebuah akuarium. Pinggir kiri kanan serta depan belakang saya tersekat oleh kaca. Saya bisa melihat ke segala arah, tapi tidak bisa mendengar ucapan yang terlontar dari gerak mulut beberapa orang di samping kanan saya yang dari raut mukanya terlihat seperti tengah berceloteh tentang sebuah lelucon. Di depan saya, seseorang duduk di kursi membaca karya tulis Kahlil Gibran. bagian belakang, saya melihat seseorang tengah mengamati handphone. dan 3 orang di bangku dan meja panjang tengah sibuk dengan laptop masing-masing, mereka ada di sebelah kiri saya. 

Ruangan akuarium ini adalah fasilitas yang diberikan universitas, layaknya ruangan khusus untuk bermeditasi atau berkontemplasi. Lama saya menunggu dengan pikiran yang dipaksa kosong, karena buku-buku soal diplomasi gaya baru menjejali otak saya. Dan opini menyoal kasus tersebut lebih sinis dari orang-orang yang paling sinis sekalipun.

Pasal diplomasi gaya baru ini bercerita mengenai cultural diplomacy yang "katanya" menjadi bagian dari soft power. Entah mungkin karena saya ini sudah biasa hidup keras, menerima cobaan-cobaan yang keras, sehingga saya tidak percaya lagi dengan kelembutan-kelembutan yang bisa diupayakan. Dengan kata lain saya menjadi negativist. 

Mengenai soft power dan cultural diplomacy, ini sebenarnya bukan hal yang baru. Ini sudah terjadi sebelum zaman kolonisasi. Terjadi, dibawa oleh pedagang-pedagang yang selalu memiliki reputasi baik di mata pribumi manapun (tidak objektif). Saya sendiri masih bertanya apakah para pedagang ini kemudian menjelma  sebagai mereka, para penjajah. Itu diperlukan riset. Namun pada dasarnya, proses tawar-menawar terjadi disana. Memang bukan proses diplomasi, tapi merupakan proses negosiasi. Pasal apa yang dinegosiasikan, secara garis besar ya barang dagangan dan upaya pemenuhan kebutuhan para pembeli. Jika saat itu mereka belum menemukan uang, maka mereka saling tukar-menukar alias barter.

Proses diplomasi masa kini, seperti apa? Kapan sebenarnya diplomasi ini berlangsung? Jawabannya juga harus ditanyakan kepada para diplomat, atau setidaknya kita membaca buku perihal diplomasi. Namun mari kita tarik garis besar bahwa negosiasi merupakan bagian dari diplomasi. Supaya jelas perihal mengapa saya membahas diplomasi disini, sebenarnya karena adanya tern baru yang sepertinya populer di kalangan akademisi baik calon maupun yang sudah jadi: ya itu tadi soft power dan cultural diplomacy.

Mungkin saya harus sedikit tidak berbasa-basi. Yang disebut soft power adalah upaya untuk menguasai secara halus. Apa yang dikuasai sebenarnya bisa apa saja. Contoh yang sangat signifikan dan tidak pernah salah adalah yang dilakukan oleh China, dimana mereka mulai membuka institusi-institusi kebudayaan China untuk menarik para akademisi dan juga para pelajar di dunia. Tentu penarikan ini tidak lepas dari agenda politik negara yang bersangkutan.

Jelas alat yang digunakan untuk soft power ini adalah budaya. Namun caranya bisa berbeda-beda. Misalnya pendirian institusi pendidikan internasional, atau perjanjian OBOR dimana China ingin membuka rute bisnis menuju Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia secara langsung.

Saat kita bicara mengenai budaya yang menjadi alat soft power, tentu kita sudah membayangkan bentuk-bentuk kebudayaan itu sendiri: segala hal yang berbau tradisional. Dan yang lebih penting adalah ideology. Ideology ini yang menjadi bahan pertimbangan cultural diplomacy. Guna memecahkan suatu masalah, kita menitik beratkan pemahaman dan proses negosiasi pada ideology budaya masing-masing. Cultural diplomacy tanpa kita sadari, sering kali kita lakukan ketika kita bertoleransi terhadap perbedaan.

Keduanya (soft power dan cultural diplomacy), melemparkan saya ke ruangan akuarium untuk merasakan kesendirian dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di dalam media dan Bahasa. Mengapa saya tidak bisa sedikitpun mengapresiasi hal yang orang-orang lain ini anggap baru, sebagai sesuatu yang baru (baru booming). Saat bagi saya mengapresiasi hal yang sudah-sudah adalah refleksi dari suatu kemunduran. Saya pikir dari pada gembar-gembor angkat isu cultural diplomasi sebagai solusi, alangkah lebih baiknya kita praktikan terlebih dahulu, untuk membuat kita semakin yakin bahwa ini sudah terjadi di zaman sebelum Southeast Asia terbentuk, dan ujung-ujungnya tetap saja penjajahan dan peperangan?

Paragraph diatas sebenarnya saya targetkan menjadi paragraph terakhir. Namun saya ingin menambahkan informasi mengenai soft power yang dilakukan oleh China. Soft power (penyebaran budaya untuk mendominasi atau menguasai pasar) sedang dan sudah dilakukan oleh China. Inilah yang menyebabkan Chinese diaspora terjadi, meskipun kita harus mengadakan riset sejauh mana Chinese diaspora ini menguntungkan negara China itu sendiri. Hal yang perlu diperhatikan dalam soft power adalah apresiasi terhadap budaya itu sendiri. 

China sendiri harus mengemas sedemikian rupa kebudayaannya agar tidak menurunkan apresiasi orang-orang dengan kebudayaan lain. Dan ini yang menjadi masalah. China dengan system politik authoritarian nya, dengan segala pembatasan-pembatasan pemerintahnya, dipandang sebagai bukan sesuatu yang baik di kalangan individu global. Dinyatakan bahwa China membatasi kebebasan, dan tidak mendukung kebebasan rakyatnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun