Sumber gambar : www.artileri.org
Fenomena ambruknya mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dalam beberapa bulan terakhir ini telah menjadi perbincangan hangat baik di medsos ataupun di dunia nyata. Orang-orang selalu membahas serta membandingkan dengan kejadian krisis sebelumnya seperti tahun 2008 dan 1998. Pemerintah dan Bank Sentral Indonesia sudah dan sedang berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dari terjangan mata uang dolar Amerika yang telah menembus di atas 14000.
Kebijakan reshuffle yang telah ditempuh oleh Pemerintah dengan mengganti tim ekonominya ternyata belum cukup ampuh meredam gejolak nilai tukar rupiah yang semakin liar, kekhawatiran pun segera mencuat akan bayang-bayang krisis lebih dalam lagi meskipun pihak Pemerintah berulang kali menyatakan bahwa krisis moneter saat ini belum separah seperti kejadian tahun 1998. Namun tetap saja terpuruknya mata uang rupiah telah membuat was-was kalangan para penguasaha yang berorientasi bahan baku impor.
Apa yang terjadi dengan ekonomi global sesungguhnya, kalau kita mencermati penguatan dolar Amerika dalam beberapa bulan terakhir ini tak lepas dari spekulasi kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve Amerika. Dalam beberapa kesempatan Presiden Jokowi memberikan penjelasan salah satu alasan “kenaikan suku bunga bank sentral AS” sebagai penyebabnya. Maaf dalam hal ini perlu dikoreksi bahwa Federal Reserve Amerika belum merubah kebijakan moneternya dengan menaikan suku bunga, ini baru spekulasi dari para investor menjelang pertemuan Federal Reserve AS pada pertengahan bulan depan.
Satu hal yang menarik perlu diperhatikan ketika Bank Sentral Amerika digadang-gadang akan menaikan suku bunganya pada bulan depan setelah dikaitkan dengan serangkaian indikator ekonomi AS dalam beberapa bulan terakhir telah menujukan progres yang positif, Bank Sentral Tiongkok (PBoC) secara mengejutkan mendevaluasi mata uang Yuan yang telah membuat geger paasar global disusul dengan pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral Tiongkok dan terakhir menyuntikan dana sebesar 140 milyar Yuan guna menjaga stabilatas ekonomi Tiongkok yang telah mengalami pelambatan ekonominya.
Dua negara adidaya ekonomi dunia Amerika dan Tiongkok sedang bertarung memperkuat posisi ekonominya dimana langkah dari PBoC telah membuat Fed Amerika cukup terkejut dan sempat beredar akan ditundanya kenaikan suku bunga Bank Sentral AS pada pertemuan bulan depan nanti. Perang kebijakan moneter dari dua Bank Sentral terkemuka ini akan segera dikatahui siapa yang akan menjadi pemenang sesungguhnya. Para investor berharap-harap cemas akan hasil pertemuan Fed bulan depan nanti. Dalam beberapa kesempatan pimpinan Federal Reserve Amerika Janet Yellen telah menandaskan dukungan perubahan suku bunga Fed jika serangkaian data fundamental ekonomi Amerika mendukungnya.
Kembali ke situasi ekonomi di Indonesia sendiri setelah melihat perkembangan ekonomi global seperti saat ini, pelemahan mata uang rupiah yang cukup signifikan telah membuat pemerintah cukup pelik mengatasi gejolak nilai tukar saat ini. Ketergantungan ekonomi pada dua negara adi daya Amerika dan Tiongkok baik sebagai pasar ekspor atau bahan baku impor tetap akan menyulitkan perekonomian Indonesia. Situasi sulit seperti saat ini bukanlah waktu yang tepat menyalahkan faktor eksternal yang telah menyebabkan rupiah terpuruk, cari solusi yang mujarab baik oleh Pemerintah maupun Bank Sentral Indonesia. Perkuat fundamental ekonomi, jaga kepercayaan pasar, jaga stabilitas politik, koordinasi antar pejabat Pemerintah agar kita segera keluar dari bayang-bayang krisis yang lebih dalam lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H