Seorang bapak pernah yang bertempat tinggal di Yogyakarta, pernah mengeluh soal pengajaran di sekolah anaknya yang dipandangnya mengarah pada intoleransi. Bapang sang anak yang  mengaku NU itu terkejut karena anaknya bercerita soal guru.  Menurut sang anak, guru bertanya kepada para murid di kelas, apakah ada yang pernah ke gereja ? Sang anak mengacungkan jari dan bercerita bahwa dia pernah diajak tetangga untuk datang ke bazaar yang diadakan oleh gereja. Di bazaar dia berkenalan dengan anak-anak sebaya dan mereka menikmati jajanan bersama di halaman gereja.
Ternyata guru menunjukkan ketidaksetujuannya. Sang guru mengatakan bahwa kalau dia lewat depan gereja dia akan membuang muka dan tidak mau punya teman yang berbeda agama. Di mata sang anak, pandangan guru itu salah karena bertindak seperti malaikat dan bukan manusia.
Masih di kota yang sama, tepatnya di dusun Karet, Pleret, Bantul,  pernah terjadi penolakan bermukim bagi warga non muslim. Sang warga tertolak adalah Slamet Juniarto yang beragama Katolik  dan bermaksud akan menetap di dusun Karet, namun ditolak warga karena menurut mereka ada aturan bahwa dusun itu tidak mengizinkan warga beragama selain Islam bermukim di dusun itu.Peraturan itu ditetapkan oleh para tokoh dusun itu dan berlaku sejak 2015. Sebagai warga Indonesia yang penduduknya memang beraneka, Slamet mempersoalkan aturan itu. Akhirnya aturan dibekukan dan Slamet diperkenankan ke dusun itu.
Di beberapa kota termasuk Jakarta, kini bertebaran penjualan perumahan dengan konsep perumahan untuk satu agama. Artinya perumahan itu tidak mengizinkan agama lain untuk membeli di tempat itu. Lalu ada juga Peraturan daerah yang mewajibkan anak sekolah terutama siswinya untuk memakai jilbab meski dia adalah non muslim. Belum lagi pemakaman yang tidak memperkenankan warga non muslim untuk dimakamkan di situ meski desa itu tidak punya pemakaman khusus untuk non muslim.
Apa yang saya kemukakan di atas, hanyalah sedikit dari persoalan intoleransi yang banyak dialami oleh warga negara Indonesia. Kita harus sadar bahwa intoleransi adalah cikal dari radikalisme dan radikalisme adalat awal dari kemungkinan terorisme.
Nah persoalan intoleransi ini sering diabaikan dan selalu dianggap persoalan kecil padahal ini adalah akar dari masalah besar. Ibarat sungai, hulu  harus dirapikan dulu jika tidak mau banjir bandang di hilir. Informasi negatif dari faham transnasional dan suasana intoleransi yang dominan akan memburuk keadaan di hulu sungai sehingga akan berdampak di hilir. Informasi negatif dari faham transnasional  bosa menjadi pekal penting bagi pelaku terorisme. Dan seperti pelajar yang merupakan terduga pelaku terorisme di Batu Malang , adalah informasi negatif yang sudah mencemari hilir.
Karena itu hulu harus kita jaga dengan baik. Keluarga, institusi pendidikan, rumah ibadah termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat harus mewaspadai informasi negatif yang diterima oleh generasi, dan mencegahnya dari swaradikalisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H