Kemarin malam, Kamis (4/2/2021), saya mendapat kabar dari seorang teman, kalau nomor WhatsApp miliknya diretas dan disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
Saya diberitahu seusai saya membalas sebuah pesan masuk, berbunyi: "Bisa mnta tolong bantu gak". Pesan itu sebenarnya masuk pada Rabu (3/2/2021) malam, pukul 22.55 WIB. Cuma, saya baru membalas esoknya, karena saya sudah tidur.
Sebelum membalas, saya menemukan keanehan di bunyi pesannya. Sebab, biasanya dia membuka percakapan dengan kata "Bro..." atau "Mas...", dan terkadang menyertakan nama saya. Pesan saya balas dengan kalimat: "Bantu apa, bro? Sori, saya baru balas".
Lalu dia membalas balik: "Jangan ditanggepin, mas. WhatsApp-ku sudah kena retas. Alhamdulillah ini baru balik lagi setelah saya laporkan ke support@whatsapp.com. Bukan Mas Tuho aja yang di-WA-in, tapi semua nomor yang ada di kontak saya, dia WA-in dengan dalih minta tolong (uang)".
Untuk memastikan, saya kemudian menelepon dia supaya bercerita tentang kronologinya. Dia mengatakan, awalnya menerima SMS resmi dari WhatsApp yang isinya kode konfirmasi. Dan tidak lama, muncul pesan juga dari nomor pengguna WhatsApp berfoto profil pegawai minimarket.
Pengguna nomor WhatsApp tadi memintanya untuk mengirimkan kode 6 digit, sembari memohon jika kode tersebut adalah angka voucher game yang salah nomor pengiriman.
Dan karena merasa kasihan dan yakin, teman saya tanpa pikir panjang mengirim kode tersebut. Selanjutnya, dalam hitungan detik, aplikasi WhatsApp di handphone-nya ter-logout. Dia akhirnya tersadar jika nomor WhatsApp-nya sudah beralih pengguna.
Di sela percakapan, saya turut meluapkan rasa kecewa terhadapnya. Masalahnya, teman saya ini seorang pegiat media sosial, yang saya harapkan tidak bertindak sebodoh itu.
Untung saja saya tidak membalas dengan cepat. Dan untung pula orang lain yang dihubungi malam itu tidak meladeni si pelaku. Barangkali belum punya uang atau sadar jika permintaan tersebut adalah penipuan. Saya sangat bersyukur.
Terlepas dari niat buruk para pelaku, dari mana sebenarnya nomor WhatsApp teman saya diperoleh? Sepengakuannya, ia tidak sembarang memberinya kepada orang-orang yang tidak dikenal. Dan tidak juga mencantumkan di akun media sosial miliknya.
Maka, pertanyaan yang sama juga saya ajukan kepada para pengguna lain WhatsApp, khususnya mereka yang pernah jadi korban. Dari manakah kira-kira nomor Anda ditemukan? Adakah Anda memberinya secara sembarangan?
Maksudnya begini. Jangan sampai di satu sisi pemilik aplikasi WhatsApp kita desak untuk meningkatkan keamanan, namun di sisi lain kita kerap bertindak ceroboh.
Ya, tidak selalu karena kelalaian kita juga. Karena bisa jadi misalnya nomor kita diperoleh si pelaku dari pihak penjual pulsa dan kuota internet jenis elektrik. Contoh kasus, sila klik ini. Cuma saya tegaskan, tidak semua penjual pulsa dan internet demikian.
Bagaimana agar nomor kita tidak tersebar bebas? Untuk menghindari terjadinya hal-hal di luar kendali, sebisa mungkin kita beli pulsa dan kuota berjenis voucher saja, atau lewat aplikasi yang dimiliki. Kecuali kedua-duanya tidak ada dan dalam kondisi mendesak.
Selain itu, buat apa sih Anda memamerkan nomor kontak di media sosial kalau tidak penting diketahui orang lain? Adakah Anda percaya semua teman Anda di dunia maya berpikir bijak? Apakah yakin nomor Anda tidak akan dilihat orang-orang yang tidak masuk daftar pertemanan?
Pada sebuah kesempatan, saya membaca status linimasa seorang teman berjenis kelamin perempuan, yang isinya berupa protes karena dirinya dihubungi melalui video call oleh seseorang dan kebetulan bernomor kontak baru.
Saat terhubung, ia kaget. Di video ia melihat seorang laki-laki, yang tidak menampakkan muka, sedang memainkan alat kelaminnya. Siapakah gerangan orang itu? Betulkah sesama teman yang dikenal? Tidak ada yang tahu persis. Inilah yang saya maksud, jangan pamer nomor kontak pribadi.
Poin penting berikutnya adalah, karena umumnya sebagian aplikasi media sosial yang kita pakai mewajibkan pencantuman nomor kontak, maka sebaiknya kita tidak lupa menguncinya. Buatlah jadi "privat". Jelajahi fitur-fitur yang ada untuk mengetahuinya.
Kiranya masih banyak lagi cara lain untuk mengamankan nomor kontak pribadi kita di media sosial. Dan poin terakhir ini, sesuai judul tulisan, saya menghimbau agar Anda juga tidak menitip nomor kontak di sembarang grup media sosial. Apapun namanya.
Mohon izinkan saya menebak, bahwa kemungkinan besar, sebagian dari Anda telah menjadi anggota satu atau lebih grup Facebook. Grup itu pasti bermacam-macam. Entah grup rohani, bisnis, dan seterusnya.
Sila lirik gambar berikut. Saya memberi contoh grup yang menghimpun nomor kontak pribadi. Grup tersebut terbuka bagi siapapun, dan terdapat anjuran untuk disebar secara luas.
Mengapa si pembuat status atau penyebar informasi tidak mengarahkan orang untuk menghubunginya langsung melalui kotak pesan di Facebook? Sila lihat sudah berapa ribu nomor WhatsApp masuk, dan mungkin saja jumlahnya bisa semakin banyak ke depan.
Hemat saya, penyebar informasi punya tanggungjawab untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari terhadap para pengguna yang masih polos itu. Siapa sangka, kelak himpunan nomor kontak malah digunakan untuk kepentingan menyimpang?
Aneh juga sebenarnya, bagaimana mungkin sekian ribu orang begitu yakin menitipkan nomor kontak pribadinya. Bukan berpikir yang tidak baik. Cuma bersikap waspada seharusnya tetap dikedepankan.
Pernahkah Anda diceramahi serta diledek gara-gara menasihati para anggota sebuah grup Facebook agar tidak mencantumkan nomor kontak pribadinya? Saya pernah. Bukan di grup tersebut di atas, tetapi di grup lain.
Grup yang saya ikuti kebetulan sebuah grup rohani. Dan saya tahu, para anggota berasal dari berbagai wilayah di tanah air. Jumlahnya mencapai ratusan ribu. Saya juga sangat yakin, bahwa mayoritas sesama anggota tidak saling kenal.
Berniat baik, malah diceramahi. Saya terpaksa alami itu ketika suatu saat mengkritik postingan gambar berisi kalimat "Bagi yang mau didoakan dan dikirimi ayat-ayat Kitab Suci setiap hari, silahkan tulis nomor WhatsApp di sini". Saya juga diledek karena dianggap berpikiran buruk.
Mengecewakan, bukan? Kok harus titip nomor WhatsApp supaya didoakan dan diberi ayat Kitab Suci? Logikanya di mana sih? Tidak cukupkah di grup Facebook?
Inilah kelemahan sebagian para pengguna media sosial. Artinya tidak semua. Mereka disadarkan ancaman bahaya, tapi justru ditanggapi negatif. Maka setelah itu saya keluar dari grup.
Intinya, bersikap bijaklah dalam menggunakan sarana teknologi. Jangan mengkhawatirkan keamanan privasi, sementara abai bertindak protektif. Tulisan ini bukan ceramah (balik), melainkan sekadar pengingat bagi sesama penghuni dunia maya. Semoga bermanfaat.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H