Pemerintah harus berupaya keras menggagalkan konspirasi politik dan ekonomi di balik aksi penolakan produk kelapa sawit Indonesia oleh Swiss lewat tangan Uniterre.
Minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) beserta produk turunan kelapa sawit lainnya (margarin, minyak goreng, kosmetik, dan sebagainya) merupakan salah satu bagian komoditas eskpor unggulan Indonesia ke berbagai negara.
Sebagai negara pengekspor CPO terbesar urutan pertama di dunia dengan pangsa pasar global sebesar 55 persen, Indonesia sekurangnya mendapatkan devisa hasil ekspor mencapai Rp 45 triliun per tahun.
Meski demikian, harus dipahami bahwa selama ini "kekuasaan" Indonesia tersebut belum diakui penuh oleh pasar global dan para pakar, terkait data stok kelapa sawit. Malah Malaysia sebagai pengekspor terbesar kedua (dengan pangsa pasar global 22 persen) yang diakui datanya.
Mengapa? Sebab, dibanding Indonesia, kecepatan dan keakuratan data kelapa sawit Malaysia lebih baik. Data perkembangan produksi dan stok di Malaysia konsisten ter-update tiap hari, yang siap tersaji kapan pun dibutuhkan.
Artinya, pengakuan penuh tadi baru bisa diperoleh Indonesia ketika persoalan data terbenahi. Rekonsiliasi data tutupan kelapa sawit akhir tahun dalam rangka memantau pergerakan produksi memang sudah dimulai. Hanya saja masih perlu dievaluasi karena belum detail sesuai kebutuhan.
Kembali ke pokok pembahasan. Swiss dikabarkan telah melancarkan kampanye penolakan terhadap produk kelapa sawit Indonesia. Kampanye itu telah dimulai sejak pertengahan 2020 lalu.
Mengatasnamakan 50 organisasi petani Swiss, lembaga swadaya masyarakat (LSM) Uniterre berdiri di barisan paling depan meneriakkan penolakan. Tidak tanggung-tanggung, Uniterre bahkan sampai membawa gugatannya ke meja Bundenskanzlei, Mahkamah Konstitusi Swiss di Bern.
Entah murni demi kepentingan sektor pertanian Swiss, Uniterre yang notabene bukan organisasi petani menggandeng perwakilan petani, anggota parlemen, dan Partai Jungsozialist (Juso) memenuhi persyaratan pengajuan gugatan dengan mengumpulkan minimal 50 ribu tanda tangan atau petisi rakyat.
Jika berhasil, maka Uniterre layak memasukkan gugatan lewat referendum Swiss yang sedianya diadakan 4 kali dalam setahun. Referendum yang dimaksud mirip dengan gelaran pemilihan presiden atau kepala daerah di Indonesia.