Presiden Amerika Serikat Donald Trump rupanya kurang berniat mengakhiri masa jabatannya dengan baik. Terhitung sejak penghitungan suara Pilpres AS hingga sekarang, Trump masih mengaku sebagai pemenang, meski fakta-fakta menyatakan terbalik.
Kekukuhan hati Trump memuncak ketika ia meminta para pendukungnya menggelar aksi unjuk rasa menolak ditetapkannya Joe Biden dan Kamala Harris sebagai presiden dan wakil presiden oleh Kongres Senat.
Akhirnya, seakan menutup mata pada fakta dan bukti, para pendukung Trump kemudian mengepung Gedung Capitol, tempat di mana pengukuhan Biden dan Harris diumumkan.
Pendukung Trump berunjuk rasa tidak terkendali. Hasilnya berujung bentrok dan menewaskan seorang perempuan yang sedang berada di dalam Gedung Capitol, pada Rabu (06/01/2021).
Perempuan yang tewas itu belum dikabarkan identitasnya. Yang jelas, ia dinyatakan tertembak. Pelaku penembakan pun belum terungkap, apakah oleh pihak kepolisian atau peserta aksi massa.
Perlu diketahui, di samping meminta pendukungnya berunjuk rasa, Trump juga disebut memarahi wakilnya, Mike Pence, yang ia nilai tidak bisa berbuat banyak untuk "mencegah" kemenangan Biden.
Mengapa Pence memilih diam? Ya, ia tentu sadar bahwa usahanya akan percuma. Ia pasti tahu, hanya Trump yang sulit menerima kenyataan pahit, kalah di Pilpres.
Sampai kapan AS ricuh gara-gara Trump? Entah. Agaknya keamanan dan kenyamanan warga AS harus terganggu dalam waktu yang tidak dapat diprediksi ujungnya. Semoga saja sesaat setelah Biden dan Harris dilantik.
Lewat akun media sosial Twitter, Facebook, dan YouTube, Trump masih saja "membakar" amarah pendukungnya. Sehingga dikabarkan, ketiga platform tersebut membekukan sementara akun Trump.
Mengapa Trump bersikap aneh dan kekanak-kanakan? Tidakkah ia sadar jika sikapnya bakal menghancurkan AS? Kubu Partai Republik pun sudah pasrah dan tampak ikhlas menyongsong pemimpin baru.
Semua alasannya, cuma Trump yang mengetahui. Sebagai informasi, kenyataan pahit yang dialaminya ternyata tidak sebatas kalah di Pilpres. Ada kekalahan lain yang mau tidak mau wajib diterima, yaitu Partai Republik gagal menguasai DPR dan Senat.
Artinya Partai Demokrat berhasil memenangkan tiga pertarungan sekaligus. Antara lain menang Pilpres, DPR, dan Senat. Kemenangan besar pada 2009 silam diraih kembali.
Mungkinkah ketiga kekalahan itu yang menyebabkan Trump mengalami stres berat? Kemungkinan besar, iya. Namun apa daya, demikianlah kehendak hati warga AS. Tidak boleh ditolak.
Tidak ada lagi yang memihak Trump. Mayoritas pihak mengutuk sikap dan aksinya. Akibat hasutan terhadap para pendukungnya, Trump diinisiasi untuk dilengserkan, meski masa jabatannya tinggal beberapa hari.
Melansir CNN (07/01/2020), Jaksa Agung Washington DC, Karl Racine, meminta Pence untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Trump, dengan cara mengaktifkan Amandemen ke-25 Konstitusi AS.
Karl Racine menganggap Trump tidak layak menjadi Panglima Tertinggi AS. Menurutnya, Trump tidak mampu menjaga warganya dari kekacauan. Oleh karena itu, ia berharap Pence segera menghadap DPR dan Senat untuk mendapat dukungan.
"Saya akan meminta Wakil Presiden, tolong ambil langkah selanjutnya. Lakukan tugas konstitusional Anda. Lindungi Amerika, berdiri untuk demokrasi dan aktifkan Amandemen ke-25. Itu membutuhkan Wakil Presiden Pence untuk bergerak dan mendapatkan mayoritas suara kabinet atau mayoritas kongres untuk segera mencopot Presiden karena dia jelas tidak layak untuk menjabat," ujar Karl Racine.
Apakah Pence bakal memenuhi permintaan Karl Racine? Semua tergantung Pence. Sebaiknya dipertimbangkan. Melihat kondisi yang ada, ulah Trump memang pantas dihentikan dengan keras.
Kongres Senat dan DPR sangat mungkin mendukung langkah Pence demi kebaikan AS. Dan jika hal itu terjadi, maka artinya Trump wajib meninggalkan Gedung Putih, tanpa menunggu pelantikan Biden dan Harris pada 20 Januari ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H