Pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab atau yang juga disapa HRS, telah tiba di Indonesia pada Selasa, 10 November 2020. Kedatangannya turut disambut ribuan pendukungnya, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Selama 2 (dua) hari terakhir, selain para pendukung, HRS juga ternyata mendapat sambutan hangat dari beberapa tokoh, di mana mereka bertemu langsung dengannya di kediamannya di Petamburan, Jakarta Barat.
Melansir KOMPAS TV, Kamis (12/11), nama-nama tokoh tersebut antara lain Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan; pendiri PAN, Amien Rais; Presiden PKS, Ahmad Syaikhu; Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain; penggagas KAMI, Marwan Batubara; dan politisi PAN, Abraham Lunggana.
Entah apa saja detail hasil obrolan antara HRS dengan para tokoh tadi, yang jelas media menyebutkan bahwa salah satunya pembahasan UU Cipta Kerja dan lainnya potensi bergabungnya HRS ke partai politik. Meski pihak PKS berharap HRS tidak masuk politik, dengan alasan HRS "milik umat".
Masuk politik atau tidak, itu semua terserah HRS. Memang bisa diakui, HRS ibarat "gula" bagi semut-semut yang rindu rasa manis selama ini. Sepanjang tiga tahun terakhir, orang-orang yang butuh sosoknya merasa kehilangan.
Tadi itu keinginan tokoh-tokoh yang sepaham dengannya. Lalu bagaimana dengan HRS, apa keinginannya? Ternyata hal yang dia harapkan adalah terlaksananya rekonsiliasi antara dirinya dan pemerintah.
Tidak tanggung-tanggung, agar tercapai rekonsiliasi, HRS mematok syarat, yakni pemerintah harus berkenan untuk "tidak mengkriminalisasi ulama" dan membebaskan teman-teman HRS yang tersangkut masalah hukum.
Pertanyaannya, apa betul ada persoalan antara HRS dan pemerintah? Apakah kepergian HRS ke Arab Saudi terpaksa, atau mungkin dipaksa pemerintah? Sepengetahuan publik, HRS ke sana dalam kondisi sadar dan tanpa paksaan dari siapa pun.
Lalu, apa hubungannya lagi dengan pembebasan orang-orang bermasalah, bukankah itu kewenangan penegak hukum yang tidak boleh diintervensi oleh HRS dan bahkan pemerintah?
Inilah yang aneh dari HRS. Seakan ingin "menekan" pemerintah agar mengintervensi hukum. Syarat-syarat macam apa itu? Tidak ada masalah, kok menyuarakan rekonsiliasi?
Yang patut sedikit diduga sebenarnya, persyaratan yang dipatok HRS belum tentu semata untuk kepentingan orang-orang yang sepaham dengannya, melainkan bagi 'kebaikan' dirinya sendiri.