Ketidakpatuhan yang dimaksud yaitu para paslon tetap mengadakan kampanye tatap muka, menggelar acara yang menimbulkan kerumunan (contohnya di sana ada kegiatan "maena", tarian khas Nias), dan sebagian peserta (bahkan paslon) tidak memakai masker dan menjaga jarak. Padahal, beberapa waktu lalu, wilayah Kepulauan Nias sempat masuk dalam daftar zona berbahaya Covid-19.
Penulis kurang tahu apakah Bawaslu Nias Selatan selalu hadir di acara kampanye, dengan demikian bisa mengingatkan para paslon dan warga untuk patuh protokol kesehatan.Â
Faktanya, acara demi acara konsisten berlangsung, dan tidak ada kabar bahwa terjadi pelanggaran. Hal ini tentu menjadi perhatian Bawaslu dan pihak-pihak terkait.
Tidak cukup protokol kesehatan yang dilanggar, ternyata ada bentuk kampanye "memaksa" yang dilakukan oleh salah satu paslon, jelasnya nomor urut 1, Hilarius-Firman. Kegiatan kampanye yang menurut penulis tidak boleh terjadi itu adalah adanya "penyumpahan" atau kutukan bagi calon pemilih yang membelot.
Calon pemilih yang tidak jadi mencoblos paslon nomor urut 1 didoakan terkena musibah. Mereka akan muntah darah dan mengeluarkan uap. Dalam bahasa Nias "la uta'ö ndro ba sau".
Peristiwa kampanye mengerikan itu berlangsung di salah satu desa di Kecamatan Börönadu, sebuah lokasi yang diyakini masyarakat Nias sebagai tempat "turunnya" leluhur pertama.
Videonya viral setelah diunggah pemilik Facebook bernama Edhyr Baz, Senin (12/10/2020), pukul 00.43 WIB. Lebih jelas, sila klik link ini. Dalam video, pelaku "pengutuk" bukan paslon nomor urut 1, tetapi tokoh masyarakat yang memimpin acara. Tokoh mengaku semua pemilih dari 10 desa sudah kompak memilih Hilarius-Firman. Sehingga siapa pun yang salah pilih pasti kena kutukan.
Seekor ayam jantan dipotong lehernya, dan pemilih yang membelot dikutuk bernasib sama (fa'aetu mbagi manu). Paslon nomor urut 1 hadir, menyaksikan acara, dan bertindak selaku pemegang ayam.Â
Adakah paslon paham bahwa ujaran kutukan sedianya tidak terucap? Apakah mereka berdua sepakat juga dengan "doa buruk" tokoh tadi? Mestinya paham dan tidak sepakat.
Sebagai pemimpin dan calon petahana, Hilarius mestinya menolak bentuk kampanye model begitu. Beliau tentu sudah tahu rangkaian acara, maka sudah menjadi kewajibannya mengedukasi (menasihati) masyarakat dan tokoh sebelum hadir di lokasi. Separah itukah cara-cara berkampanye dalam menarik hati masyarakat?
Semoga hal serupa tidak terjadi lagi di sana maupun di daerah lain. Ada banyak bentuk kampanye yang lebih edukatif untuk dipilih. Kampanye bukan ajang menakut-nakuti serta "menyumpahi" masyarakat. Selamat menyongsong hari pelaksanaan Pilkada 2020. Mudah-mudahan pemimpin terpilih mau amanah.