Pasti sebagian ada yang mengatakan "sudah", dan sebagian lagi mengaku "belum". Namun jika dilihat sungguh-sungguh di lapangan, penerapan PSBB "Jilid II" ternyata tidak maksimal, persis sama dengan "nasib" PSBB sebelumnya.
Contoh fakta, pada hari pertama pemberlakuan PSBB "Jilid II", pihak kepolisian mencatat setidaknya ada 221 kasus pelanggaran. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah penerapannya mestinya lebih maksimal karena diakui "super ketat"? Di mana letak kesalahannya?
Kesalahannya terletak pada ketidakpatuhan masyarakat akan protokol kesehatan, serta ketidakseriusan pemangku kebijakan dalam menegakan aturan. Masalah watak masyarakat yang ogah patuh, rasanya sulit diperbaiki dalam waktu cepat. Namun apakah hal yang sama berlaku juga dengan ketegasan pemberlakuan aturan? Mestinya tidak.
Mengapa Pemprov DKI Jakarta tampak kurang serius menjalankan aturan PSBB "Jilid II"? Mengapa di satu sisi gencar menghimbau masyarakat taat protokol kesehatan, tapi di sisi lain masih membiarkan aktivitas yang menimbulkan kerumunan?
Untuk kejadian hari ini misalnya (Minggu, 20/9/2020), meskipun kawasan khusus pesepeda (KKP) telah ditiadakan semenjak pengumuman PSBB "Jilid II", ternyata masih banyak warga yang berkeliling menggunakan sepeda dan sekali-sekali berswafoto di sekitar kawasan Bundaran HI. Mereka terdiri dari anak, remaja, dan orangtua.
Fatalnya, di lokasi, para petugas tidak melarang para pesepeda, walaupun jelas melanggar aturan. Petugas hanya menyapa dan mengingatkan pesepeda agar tetap menggunakan masker.
Bukankah sebaiknya pesepeda dilarang melintas karena melanggar aturan soal peniadaan KKP? Mengapa KKP disebut ditiadakan padahal faktanya tidak demikian?
Berikutnya, kawasan Gelora Bung Karno tetap dibuka sebagai lokasi berolahraga atau sekadar berjalan-jalan. Mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak tegas melarang pembukaan fasilitas publik yang minim manfaat dalam penekanan jumlah kasus positif Covid-19 dan berpotensi menimbulkan kerumunan?
Di sinilah letak kesalahannya Pemprov DKI Jakarta. Punya banyak kebijakan dan aturan, tapi tidak dijalankan sungguh-sungguh sebagaimana mestinya. Percuma PSBB dibuat berjilid-jilid jika penerapannya konsisten jauh dari harapan.
Ketidaktegasan dalam menerapkan aturan PSBB di DKI Jakarta pada akhirnya membingungkan, meningkatnya pelanggaran masyarakat, bertambahnya jumlah kasus positif (dan meninggal dunia), serta memperparah kegelisahan Anies soal lahan pemakaman.
Semoga penerapan aturan PSBB "Jilid II" di DKI Jakarta lebih dimaksimalkan lagi. ***