Tiga bulan menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), perjalanan tugas Edhy Prabowo kerap menuai polemik. Beberapa kebijakan yang dibuatnya hampir tidak lepas dari pro dan kontra, misalnya soal penenggelaman kapal asing yang terbukti mencuri ikan di perairan Indonesia dan izin ekspor benih lobster.
Kedua hal tadi bahkan sampai membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut bicara menengahi persoalan, serta memusingkan para menteri terkait untuk memperjelas duduk perkara, meskipun tetap saja menyisakan tanda tanya hingga saat ini. Betapa tidak, ternyata menurut Edhy, apa yang sudah jadi polemik masih akan dibahas, yang titik terangnya tetap belum jelas.
Seolah tidak kapok diprotes, pada 2020 ini, Edhy disebut-sebut bakal melegalkan penggunaan cantrang bagi nelayan, di mana sebelumnya telah dilarang tegas lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016. Artinya, Edhy berencana mencabut kebijakan yang sempat diambil oleh pendahulunya, Susi Pudjiastuti (Menteri KKP periode 2014-2019).
Edhy melegalkan cantrang dengan alasan untuk mengakomodir kapal nelayan Pantura agar bisa beroperasi di Natuna Utara. Seperti yang diketahui publik, salah satu solusi yang diinisiasi dalam memperkuat kedaulatan Indonesia di perairan Natuna adalah mobilisasi nelayan. Hilir-mudiknya kapal China di sana dinilai karena sepi dari aktivitas nelayan Indonesia.
Apa hubungan antara pengakomodasian nelayan Pantura dengan legalitas cantrang? Bukankah nelayan bisa dikerahkan untuk beraktivitas mencari ikan di Natuna tanpa harus dikaitkan dengan keberadaan cantrang? Betulkah itu keinginan nelayan, atau jangan-jangan "kepentingan sisipan"?Â
Apakah maksudnya memperkuat kedaulatan perairan boleh dilakukan serampangan dan mengabaikan kelestarian alam? Perlu dipahami, cantrang yang tergolong alat tangkap trawl (pukat harimau) amat berbahaya, mengancam kelangsungan hidup ikan-ikan berukuran kecil dan biota laut lainnya. Jangan terkesan, penegakan kedaulatan seperti berlomba menguras isi laut dengan China.
Entah akan terealisasi atau tidak, namun faktanya, keinginan Edhy tersebut pun turut didukung sebagian pihak, terutama Rokhmin Dahuri, politisi PDIP Perjuangan sekaligus mantan menteri KKP 2001-2004. Untuk mengetahui lebih lanjut sosok Rokhmin, sila baca (klik) artikel penulis berikut: "Inikah Sosok Pengganti Susi Pudjiastuti di Periode Kedua Jokowi?" dan "Tiga Profesor Ini Disebut Berpeluang Gantikan Susi Pudjiastuti di Kabinet".
Ringkasan dari dua artikel tersebut yakni Rokhmin memang berambisi ingin menggantikan Susi di kabinet pemerintahan jilid 2 Jokowi, namun sayang sekali, ternyata yang terpilih adalah Edhy. Penulis berani mengatakan hal ini sebab selama penggodokan struktur kabinet, penulis pernah berdiskusi dengan Rokhmin secara tatap muka.
Terpilihnya Edhy sebagai menteri lantas tidak membuat Rokhmin kecewa. Karena lewat Edhy, idealisme dan pandangan Rokhmin akhirnya tetap tersalurkan. Intinya, Edhy dan Rokhmin sepikiran dan sepemahaman. Sila baca "Bu Susi "Ngamuk" Gara-gara Dituding Hancurkan Ekonomi Sektoral", kesamaan antara Edhy dan Rokhmin akan terlihat jelas.
Mengapa Edhy Harus Butuh 22 Pejabat Baru?
Para pejabat yang dimaksud terdiri dari 13 orang Penasihat Menteri (Surat Keputusan Menteri Nomor 1/Kepmen-KKP/2020) dan 9 orang Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan (Surat Keputusan Nomor 2/Kepmen-KP/2020). Lebih jelas, berikut nama-nama 22 orang itu: