Terbunuhnya Komandan Pasukan Quds (Garda Revolusi Iran), Mayor Jenderal Qasem Soleimani pada Jumat, 3 Januari 2020 di Bandara Baghdad, Irak dikonfirmasi oleh Markas Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau Pentagon, merupakan hasil dari instruksi Presiden Donald Trump. Soleimani dibunuh karena dianggap bertanggungjawab atas penyerangan diplomat dan kematian warga AS serta koalisi.
"Ini adalah tindakan defensif yang menentukan, untuk melindungi warga AS di luar negeri. Jenderal Soleimani secara aktif mengembangkan rencana penyerangan terhadap diplomat AS di Irak dan wilayah sekitarnya, Jenderal Soleimani dan Pasukan Quds bertanggung jawab atas kematian warga AS dan koalisinya, serta melukai ribuan lainnya," terang Pentagon, dikutip dari AFP, Jumat (3/1).
Tidak hanya Soleimani, serangan militer AS menggunakan drone pengebom tersebut turut menghabisi nyawa 7 (tujuh) orang lain, di mana sebagian besar petinggi militer Irak, serta melukai 3 (tiga) orang lainnya.
Nama-nama korban tewas (selain Soleimani) yang terungkap antara lain Wakil komandan milisi Syiah Irak (PMF), Abu Mahdi al-Muhandis, petinggi milisi Kataib Hizbullah, dan seorang petugas protokoler bandara Irak, Mohammed Reda.
Alasan lain mengapa Soleimani "patut" terbunuh, yakni karena pria berusia 62 tahun itu dianggap AS sebagai sosok kunci dalam agenda politik Iran dan Timur Tengah. Selanjutnya diketahui telah menyusun rencana serangan kepada para diplomat dan personel militer AS di Irak, Suriah, hingga Libanon.
"Kami mengambil tindakan untuk menghentikan perang. Kami tidak mengambil tindakan [meluncurkan serangan udara] untuk memulai sebuah perang. Soleimani menjadikan kematian orang-orang tak berdosa sebagai hasrat miliknya. Kami menangkapnya dan menghentikannya," kata Trump di Florida, Sabtu (4/1).
Trump menegaskan serangan udara yang dilakukan tidak dalam rangka mencampuri urusan politik dalam negeri Iran (mengganti pemerintah atau memunculkan rezim baru). Sebelumnya, tak lama usai serangan, kedutaan besar AS di Irak mengultimatum seluruh warga AS yang berada di sana untuk meninggalkan negeri itu secepatnya.
"Warga AS harus meninggalkan Irak menggunakan pesawat selagi memungkinkan. Jika tidak bisa meninggalkan Irak menggunakan pesawat, gunakan jalur darat," jelas pihak Kedubes AS di Irak (3/1).
Menganehkan, Trump atau AS ingin mengakhiri perang dengan cara perang. Serangan udara mematikan merupakan salah satu wujud perang. Lalu, berniat menjamin keselamatan diplomat dan warganya tetapi justru membuat mereka takut dan terancam sehingga diminta minggat dari Irak.
Apa pun alasan Trump, serangan terhadap Soleimani dan beberapa korban lainnya akan semakin memperburuk hubungan antara AS dan Irak-Iran ke depan. Urusan sederhana misalnya dengan Irak, lokasi korban tewas dan luka terjadi di sana, dan hal itu semacam pemantik emosi tingkat tinggi dari AS.
Demikian pula dengan Iran. Perseteruan terbuka dengan AS yang sudah berjalan sejak AS menarik diri dari perjanjian nuklir bakal semakin memuncak. Ditambah lagi, di mata pemimpin dan warga Iran, Soleimani adalah sosok amat penting. Itulah kenapa Soleimani disebut martir.
Atas ulah Trump, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersumpah akan melakukan pembalasan mengerikan terhadap AS, di sela mengumumkan waktu tiga hari berkabung atas kematian Soleimani.
"Balas dendam yang sangat menyakitkan menunggu para kriminal yang telah menumpahkan darah pada martir itu di tangan mereka," demikian tertulis di akun Twitter pribadinya.
Khamenei dalam pernyataan lewat situs resmi juga dikabarkan telah menunjuk pengganti Soleimani, yaitu Brigadir Jenderal Esmail Qaani yang sebelumnya mendampingi Soleimani sebagai Wakil Komandan Pasukan Quds. Qaani diminta meneruskan perjuangan Soleimani dan bangsa Iran.
Bukan mendoakan agar terjadi, akan tetapi tampaknya pasca serangan AS dan tewasnya Soleimani bakal ada aksi balas-membalas antara AS dan Iran-Irak. Yang pasti dalam bentuk serangan militer. Semoga negara lain tidak ikut-ikutan terlibat dalam perang, namun berusaha menjadi penengah supaya perdamaian tercipta.
Fakta lain dari serangan Trump ada lagi, yakni ternyata tanpa sepengetahuan atau tidak berkonsultasi dengan Kongres DPR AS. Hal itu dikeluhkan oleh Ketua Komisi Luar Negeri Parlemen AS, Eliot Engel. Trump dianggap telah menghina Kongres yang nyata sebagai bagian dari lembaga pemerintahan.
Melihat fakta ini, artinya jika masih diberi kesempatan lagi, barangkali Trump bisa dimakzulkan oleh Kongres DPR untuk kedua kalinya, seperti yang terjadi pada bulan lalu (Rabu, 18/12/2019). Tapi itu tidak mungkin. Memakzulkan cukup sekali. Padahal pada Januari ini, Trump dikabarkan akan berhadapan juga dengan ancaman pemakzulan di Kongres Senat, apakah mungkin selamat atau tidak.
Sila baca: Trump Mungkin Sulit Lengser, tapi Mimpinya Terancam Bergeser
Berikutnya, ternyata pula misi di balik serangan Trump diduga mengandung motif politik, yaitu terkait kepentingannya di Pilpres 2020 yang akan dihelat pada Selasa, 3 November 2020. Hal ini disampaikan oleh pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI), Shofwan Al Banna Choiruzzad.
Shofwan menduga Trump ingin cari simpati dari para pendukungnya, dengan cara menunjukkan sebuah prestasi teranyar (membunuh Soleimani yang dilabel musuh AS).
"Apakah ada faktor domestik? Mungkin saja. Apalagi, Trump sedang mengalami impeachment (pemakzulan) padahal akan segera menghadapi Pilpres. Dia membutuhkan sebuah prestasi untuk ditunjukkan pada konstituen," ujar Shofwan, Jumat (3/1).
Benarkah terbunuhnya Soleimani jadi prestasi membanggakan bagi Trump dan sungguh diharapkan warga AS? Tidak ada yang tahu pasti. Bagi yang suka dengan karakter Trump yang keras dan haus perang, tentu patut jadi prestasi. Namun, tampaknya tidak dengan warga yang bosan perselisihan dan pertumpahan darah, termasuk juga para lawan politik Trump dari kubu Demokrat.
Mudah-mudahan Trump tidak selugu (katakan "sebodoh") itu. Menyingkirkan Soleimani menggunakan langkah-langkah yang pernah diambil ketika hendak menjegal Joe Biden (yaitu meminta Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menekan Joe Biden dan anaknya Hunter Biden lewat tudingan praktik korupsi di Burisma) yang berujung pemakzulan, belum tentu diterima dengan baik oleh Kongres Senat AS. Apalagi menjadikannya sebagai "persembahan terbaik" supaya dianggap prestasi.
Cuma dua kemungkinan, "persembahan" Trump diapresiasi sehingga Kongres Senat satu suara (mayoritas) menolak pemakzulan, atau bahkan sebaliknya, yaitu mengutuk Trump dan mendukung pemakzulan.
Di atas kepentingan politik Trump, perdamaianlah yang paling berharga. Untuk apa hawa nafsu politik tercapai, sementara warga AS dan dunia khawatir. Semoga prediksi terjadinya Perang Teluk Jilid 3 terpatahkan. Jangan ada lagi peperangan.
Damai bagi Trump dan dunia!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H