Demikian pula dengan Iran. Perseteruan terbuka dengan AS yang sudah berjalan sejak AS menarik diri dari perjanjian nuklir bakal semakin memuncak. Ditambah lagi, di mata pemimpin dan warga Iran, Soleimani adalah sosok amat penting. Itulah kenapa Soleimani disebut martir.
Atas ulah Trump, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersumpah akan melakukan pembalasan mengerikan terhadap AS, di sela mengumumkan waktu tiga hari berkabung atas kematian Soleimani.
"Balas dendam yang sangat menyakitkan menunggu para kriminal yang telah menumpahkan darah pada martir itu di tangan mereka," demikian tertulis di akun Twitter pribadinya.
Khamenei dalam pernyataan lewat situs resmi juga dikabarkan telah menunjuk pengganti Soleimani, yaitu Brigadir Jenderal Esmail Qaani yang sebelumnya mendampingi Soleimani sebagai Wakil Komandan Pasukan Quds. Qaani diminta meneruskan perjuangan Soleimani dan bangsa Iran.
Bukan mendoakan agar terjadi, akan tetapi tampaknya pasca serangan AS dan tewasnya Soleimani bakal ada aksi balas-membalas antara AS dan Iran-Irak. Yang pasti dalam bentuk serangan militer. Semoga negara lain tidak ikut-ikutan terlibat dalam perang, namun berusaha menjadi penengah supaya perdamaian tercipta.
Fakta lain dari serangan Trump ada lagi, yakni ternyata tanpa sepengetahuan atau tidak berkonsultasi dengan Kongres DPR AS. Hal itu dikeluhkan oleh Ketua Komisi Luar Negeri Parlemen AS, Eliot Engel. Trump dianggap telah menghina Kongres yang nyata sebagai bagian dari lembaga pemerintahan.
Melihat fakta ini, artinya jika masih diberi kesempatan lagi, barangkali Trump bisa dimakzulkan oleh Kongres DPR untuk kedua kalinya, seperti yang terjadi pada bulan lalu (Rabu, 18/12/2019). Tapi itu tidak mungkin. Memakzulkan cukup sekali. Padahal pada Januari ini, Trump dikabarkan akan berhadapan juga dengan ancaman pemakzulan di Kongres Senat, apakah mungkin selamat atau tidak.
Sila baca: Trump Mungkin Sulit Lengser, tapi Mimpinya Terancam Bergeser
Berikutnya, ternyata pula misi di balik serangan Trump diduga mengandung motif politik, yaitu terkait kepentingannya di Pilpres 2020 yang akan dihelat pada Selasa, 3 November 2020. Hal ini disampaikan oleh pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI), Shofwan Al Banna Choiruzzad.