Populernya Nadiem bukan hanya karena orang tahu beliau lulusan Harvard University dan pendiri Gojek, tetapi juga label dan aksi terbarunya belakangan ini. Label tersebut yaitu beliau merupakan menteri termuda (usia 35 tahun) di pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Sementara aksi terbaru yang dimaksud adalah membuat pidato inspiratif pada peringatan Hari Guru Nasional 2019 yang akhirnya tersebar luas di medsos, di setiap kunjungan (dinas dan rapat) selalu membawa tas ransel, dan terakhir Rabu lalu (4/12) saat menghadiri acara pelantikan Rektor Universitas Indonesia (UI), beliau (mengaku) membuang naskah pidato yang sengaja disusun untuknya serta memilih menggunakan dress code seadanya (baju batik, celana jeans, dan sepatu tanpa kaos kaki).
Kejadian di UI itu saja sudah cukup menambah popularitas Nadiem. Sebab di medsos dan media online, namanya kembali terangkat ke permukaan. Jadi buat apa lagi Nadiem memoles diri supaya semakin terkenal?
Namun, barangkali Nadiem belum sadar bahwa dirinya sekarang sudah jadi "milik" rakyat Indonesia, baik pejabat di pemerintahan, para PNS, maupun seluruh peserta didik.
Berbeda ketika Nadiem masih menjabat CEO Gojek, segala aspirasi dan keluhan pelanggan bisa ditampung dan ditanggapi jajarannya. Petugas admin medsos Gojek langsung menindaklanjuti dengan cepat dan gampang. Sekarang beliau bukan lagi pejabat perusahaan, tapi pejabat pemerintahan.
Entah ditanggapi dalam bentuk direct message (DM) atau retweet with comment atau tidak oleh admin Twitter Kemendikbud, faktanya ada salah satu akun yang tampaknya melayangkan protes atas keputusan Nadiem tidak menggunakan medsos pribadi.
"Piye to Pak... Kalau masyarakat mau ngeluh lalu bagaimana? Pakai merpati pos?," tulis akun @sripuspirit membalas cuitan akun @Kemdikbud_RI.
Artinya apa? Dasar keputusan Nadiem menggunakan medsos pribadi tidak boleh didasarkan demi ketenangan pribadi, menghindari pengaruh "kata orang", atau tidak mau buang-buang waktu.
Bukan tidak percaya petugas admin menindaklanjuti keluhan warga di akun resmi Kemendikbud, tetapi Nadiem perlu menyapa warga (khususnya peserta didik) lewat akun pribadinya. Rasanya pasti beda.
Nadiem harus bisa meluangkan waktu untuk "blusukan" online, seperti Presiden Jokowi yang tidak hanya mengandalkan kunjungan kerja fisik. Bahkan terkadang Presiden Jokowi mengaku lebih banyak "belanja" masalah di medsos ketimbang di lapangan.
Tahukah Nadiem bahwa informasi tentang sekolah rubuh, gaji guru honorer tertunda, siswa putus sekolah, dana BOS 'disunat', dan berbagai keluhan lain lebih banyak 'berseliweran' di medsos daripada di media arus utama, yang belum tentu juga terjangkau (dan ditanggapi) oleh petugas admin Kemendikbud?