Beberapa hari ini, warga jagat maya terpaksa menghadapi 'ujian' mental yang cukup berat. Mereka harus mampu mengendalikan pikiran dan menambah wawasan agar tidak salah memahami dua istilah berikut, yaitu "memek" dan "kontool".
Tampak kompak hadir, kedua istilah tersebut menghiasi media sosial dan menjadi topik pembicaraan viral para netizen. Yang lebih awal muncul adalah "memek", baru kemudian "kontool".
Bila tidak punya pengendalian diri yang tinggi dan pengetahuan cukup, seseorang pasti menilai kedua-duanya negatif, karena identik dengan alat kelamin, seperti yang dipahami sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang satu untuk wanita dan yang lainnya untuk pria.
Nah, daripada gagal paham, alangkah baiknya jika kita bahas lebih jelas apa itu "memek" dan "kontool" (huruf O harus dobel).
"Memek" adalah makanan khas warga Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang sudah dinobatkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia.
Baca juga : Paradoks Kebijakan di Aceh: Toleransi Identitas Beragama
Sebutan "memek" berasal kata "mamemek" yang artinya mengunyah beras. Kata itu merupakan ujaran bahasa sehari-hari masyarakat Pulau Simeulue. Indonesia cukup beragam, mulai dari suku, ras, agama, budaya, dan bahasa. Jadi kata "memek" yang selama ini diidentikkan negatif tidak boleh diberlakukan sama di semua wilayah.
Untuk menghancurkan (menghaluskan) pisang, alat yang biasanya digunakan adalah pelepah pisang sendiri. Kalau sudah halus, pisang disiram santan yang sudah kian panas. Selanjutnya ditambahkan gula dan garam.
Kemudian pisang yang sudah tercampur ditaburi beras ketan sangrai. Begitulah cara membuat "memek". Cukup sederhana, bukan? Bagi yang tertarik, sila dicoba di rumah. Jadi tidak perlu jauh-jauh pergi ke Aceh hanya untuk menikmati "memek".
Baca juga : Kopi Aceh Tanpa Ganja