Sebagian dari pembaca pasti ada yang mengira usulan ini bermaksud mengabaikan yang namanya hak prerogatif seorang presiden dalam memilih para pembantunya (menteri).
Dan ada pula yang berpikir bahwa arahnya supaya kontribusi nyata beberapa pihak yang terlibat selama suksesi Pilpres 2019 dikesampingkan. Bukan itu maksudnya, apalagi arahnya.
Saya mengusulkan ini agar pada saat menjaring para calon menterinya, presiden tidak menjadi bingung dan pusing. Sila saksikan sendiri, betapa sulitnya menimbang siapa saja yang harus masuk ke dalam kabinet pemerintahan.
Semua pihak yang merasa berkeringat di kubu koalisi dengan gagah menyodorkan sekian banyak nama untuk dipertimbangkan jadi menteri.
Belum lagi mereka yang berada di luar, antara lain kubu mantan penantang dan kalangan non partai. Sebenarnya sah-sah saja, karena memang sudah merupakan tradisi di republik ini.
Namun menurut saya, bukankah perlu bagi presiden membuat terobosan atau cara baru untuk memilih menteri tanpa harus kehilangan hak prerogatifnya?
Jelasnya begini, bisakah proses penjaringan calon menteri mengadopsi budaya yang berlaku di lembaga tertentu, umpamanya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Baca: Mantan "Tukang Cukur" Ini Daftar Jadi Capim KPK
Kita tahu, untuk menjadi seorang komisioner di KPK harus melewati tahapan-tahapan yang cukup ketat. Di KPK ada yang namanya panitia seleksi (pansel). Para calon komisioner wajib mendaftar, mengisi formulir, menyusun program atau semacamnya, dan selanjutnya diuji oleh pansel.
![Jajaran Panitia Seleksi (Pansel) Komisioner KPK untuk Periode 2019-2023 | Gambar: kompas.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/07/10/3676526808-5d255f78097f3659601a52b2.jpg?t=o&v=770)
Jawaban saya dengan pertanyaan balasan: Sampai kapan kita memelihara budaya "dagang sapi"? Benarkah kader-kader yang diajukan diseleksi dengan benar sesuai kriteria yang diinginkan presiden dan rakyat?