Pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga lagi-lagi membuat kehebohan baru. Ternyata di antara beragam tuntutan yang sudah mereka sampaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dikabulkan (petitum), ada satu hal yang menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak tergugat terasa janggal yakni permintaan agar para hakim MK memberhentikan Ketua dan Komisioner KPU.
Kejanggalan yang dimaksud terdapat pada petitum poin 13, dengan bunyi: "Memerintahkan kepada lembaga negara yang berwewenang untuk melakukan pemberhentian seluruh komisioner dan melakukan rekruitmen baru untuk mengisi jabatan komisioner KPU."
Uraian petitum sejumlah 15 poin selengkapnya dapat dibaca di sini.
Tim Kuasa Hukum BPN Prabowo-Sandiaga menganggap seluruh petitum yang mereka layangkan konstitusional dan sesuai Undang-undang MK dan Undang-undang Pemilu, termasuk poin 13 tadi.
"Melengkapi berkas yang semalam. Jadi, alhamdulilah kami melengkapi berkas sesuai hak konstitusional pemohon yang diatur negara dalam UU MK dan UU Pemilu," ujar anggota tim hukum Prabowo-Sandi, Denny Indrayana (11/6/2019).
Lalu bagaimana tanggapan pihak KPU? Ketua KPU Arief Budiman menegaskan bahwa persoalan etik penyelenggara Pemilu adalah wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), bukan ranahnya MK. Arief menambahkan, setiap persoalan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu punya saluran tersendiri.
"Kalau ada pelanggaran etik, kinerja komisioner, silahkan dibawa ke DKPP. Kalau ada sengketa hasil dibawa ke MK. Ini salah alamat atau tidak ya silakan Mahkamah yang menilai," kata Arief (12/6/2019).
Pertanyaannya, siapa sih sebenarnya yang tidak paham peraturan Pemilu, BPN Prabowo-Sandiaga atau KPU?
Kalau memang betul BPN Prabowo-Sandiaga memahami dengan baik tentang hal itu, maka untuk urusan pelanggaran kode etik mestinya dibawa ke Bawaslu atau DKPP. Namun faktanya tidak demikian. Justru dibawa MK dengan menambahkannya pada uraian petitum terbaru.
Atau kalau benar ada pelanggaran, bukankah seharusnya Bawaslu dan DKPP tidak berdiam diri?Â