Muncul wacana bahwa bila menang Pilpres 2019, Jokowi diharapkan dapat memfasilitasi elit-elit politik dari kubu oposisi masuk ke dalam keanggotaan kabinet pemerintahan.Â
Langkah ini disebut sebagai salah satu upaya rekonsiliasi politik. Dengan oposisi bergabung maka konflik segera berakhir.Â
Alasan lainnya adalah supaya ke depan posisi pemerintah semakin kokoh dan kuat. Apakah betul demikian?
Menurut saya, wacana tersebut belum saatnya direalisasikan di awal pembentukan kabinet. Memfasilitasi kepentingan beberapa partai politik anggota koalisi yang sudah sejak awal berjuang bersama-sama belum tentu terwujud optimal dan memuaskan hati.
Kita tahu bahwa setidaknya ada sembilan parpol yang bahu-membahu memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019, antara lain PDIP, PKB, PPP, Partai Nasdem, Partai Golkar, Partai Hanura, PKPI, Partai Perindo, dan PSI.
Masing-masing parpol di atas sudah pasti akan meminta kader-kader terbaiknya masuk kabinet. Kalau umpamanya untuk tiap parpol diberi jatah dua hingga tiga jabatan posisi menteri, maka sila hitung sudah berapa jumlah menterinya.
Belum lagi bahwa semestinya di kabinet tidak boleh semuanya diisi para politisi, tapi juga para profesional.Â
Betul parpol koalisi mengaku tidak keberatan, namun sepertinya itu hanya untuk membesarkan hati kubu oposisi. Parpol koalisi pasti tidak mungkin rela jatah mereka diberi sedikit. Mereka yang "berdarah-darah" tapi ternyata oposisi yang mendapat "karpet merah".
Persoalan lainnya adalah, bila semua kepentingan difasilitasi maka postur kabinet menjadi "gemuk". Padahal kunci keberhasilan pemerintah tidak terletak pada jumlah orang, tetapi pada efektifitas dan efisiensi kerja.
Untuk apa beramai-ramai kalau pada akhirnya cuma duduk diam, atau malah justru "merecoki" saja. Mengisi kabinet bukan untuk bagi-bagi jabatan atau kekuasaan. Pemerintahan di periode mendatang wajib dikendalikan lebih baik dibanding di periode yang sedang berjalan.
Pertanyaannya, apakah kubu oposisi (Pilpres 2019) tidak akan pernah bisa masuk kabinet? Jawabannya tergantung pertimbangan serta keputusan presiden dan wakil presiden, pemegang hak prerogatif. Presiden dan wakil presiden pasti akan menilai kinerja para menterinya, tentu bakal ada reshuffle.