Beberapa hari yang lalu, saya menulis sebuah artikel terkait pendapat saya atas dorongan berbagai pihak agar Jokowi dan Prabowo segera melakukan rekonsiliasi usai Pilpres 2019.
Pada artikel tersebut saya mengutarakan ketidaksepakatan saya, karena saya menilai seperti desakan paksa dan tidak masuk akal.
Saya menyebut paksaan sebab sebagai orang dewasa, Jokowi dan Prabowo tidak pantas didikte oleh pihak-pihak tertentu yang berlagak bijak dan sok tahu.
Jokowi dan Prabowo jelas sangat tahu dan paham apa yang ingin mereka perbuat. Jadi sekali lagi, tidak perlulah ada semacam intervensi dari luar untuk mengarahkan pikiran serta mengatur gerak-gerik mereka.
Kemudian saya juga menganggap tidak masuk akal karena menurut saya sebenarnya Jokowi dan Prabowo tidak sedang punya konflik pribadi satu dengan yang lain. Jadi buat apa rekonsiliasi? Semacam drama, kah?Â
Bilamana terdapat perselisihan akibat perhelatan Pemilu khususnya Pilpres, maka hal itu mestinya tetap diselesaikan lewat jalur konstitusi. Dan sekarang prosesnya sedang berlangsung. Lalu mengapa harus ada "jalur arbitrase"?
Membahas persoalan Pemilu ya di Mahkamah Konstitusi (MK), bukan di "meja makan".
Selanjutnya, jika ada pihak tertentu yang diketahui mau memanfaatkan situasi supaya tercipta kekisruhan di tengah masyarakat, ya harus diproses hukum. Tidak usah dikait-kaitkan dengan urusan pribadi para capres-cawapres. Toh kalau memang akhirnya terkait, biarlah hukum pula yang berbicara.
Intinya, tidak ada yang namanya rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo.
Lalu apa yang mestinya dilakukan oleh mereka berdua (termasuk cawapres) saat ini, yakni memanfaatkan momen Lebaran, saling bersilaturahmi, makan ketupat dan opor ayam, dan sebagainya. Pokoknya jangan yang berbau politik, apalagi mengungkit Pilpres.
Sebagai tokoh nasional, Jokowi dan Prabowo tidak boleh kalah dari tokoh biasa atau masyarakat awam yang telah saling kunjung-mengunjungi. Mereka harus melakukan hal serupa di momen perayaan hari kemenangan ini.