Harus diakui, aksi unjuk rasa yang berujung anarkis dua hari terakhir pantas disebut gagal total. Entah dari mana dan bagaimana menilainya, gerakan massa yang dideteksi ditungganggi oleh kelompok tertentu ternyata tidak berhasil memunculkan kerusuhan berkepanjangan dan meluas.Â
Kita bersyukur bahwa hanya terkonsentrasi di ibu kota, dan tidak sampai berlanjut di daerah-daerah lain di tanah air. Semoga di hari-hari berikutnya tidak ada lagi aksi-aksi serupa, karena efeknya cukup buruk bagi negara.
Walaupun demikian, memang ada hal-hal yang patut disayangkan terjadi, misalnya memakan korban jiwa, rusaknya fasilitas negara dan sarana publik, terbakarnya kendaraan pribadi warga, berdampak negatif pada perekonomian, dan sebagainya. Kita berharap segala kerusakan segera tertangani, kondisi ekonomi pulih, dan upaya ganti rugi secepatnya diinisiasi.
Kita juga patut berterima kasih kepada pihak keamanan yang telah bekerja keras mengendalikan suasana. Sikap bijaksana mereka dalam menghadapi para peserta unjuk rasa layak diapresiasi.Â
Termasuk juga kepada pemerintah yang bersikap tegas dan tidak memberi ruang sedikit pun kepada individu atau kelompok tertentu yang ingin merongrong kedaulatan negara.
Pertanyaannya, apakah dengan berakhirnya unjuk rasa maka berarti persoalan selesai? Tentu tidak. Ada hal yang wajib ditelusuri untuk diusut tuntas. Apa itu?
Hal yang mesti ditelusuri dan diusut tuntas yakni siapa sesungguhnya dalang dan provokator di balik aksi rusuh tersebut. Pihak kepolisian mengaku bahwa para perusuh di lapangan merupakan orang-orang bayaran. Diketahui bayaran untuk masing-masing provokator sebesar Rp300.000.Â
"Amplopnya sudah ada tulisan masing-masing Rp300.000 per hari. Sekali datang dikasih duit," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo (23/5/2019).