Pengumuman hasil rekapitulasi suara Pilpres 2019 telah dilakukan pada Selasa dini hari (21/5/2019), dan ternyata ada salah satu kubu yang merasa keberatan yaitu kubu pemenangan Prabowo-Sandiaga. Mereka mengaku tidak menerima hasil Pilpres lantaran dinilai penuh kecurangan yang masif, terstruktur dan sistematis.
"Sebelum sampai ke sana, kami memiliki hak untuk mengajukan sengketa hasil penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi," kata Wakil Ketua Partai Gerindra, Ferry Juliantono (21/5/2019).
Sekadar informasi, perolehan suara masing-masing pasangan calon yaitu 85.607.362 suara untuk Jokowi-Ma'ruf Amin (55,50%) dan 65.650.239 suara untuk Prabowo-Sandiaga (45,50%). Total suara sah nasional sejumlah 154.257.601 suara.
Dengan keberatan tersebut, mereka berencana akan menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan didaftarkan ke MK paling lambat 24 Mei 2019, sesuai tenggat waktu yang diberikan oleh KPU.
Tentu semua pihak wajib menghormati sikap yang diambil kubu pemenangan Prabowo-Sandiaga, karena itu adalah hak setiap warga negara yang dijamin undang-undang (UU).
Meski akan melayangkan gugatan, ada hal yang sedikit janggal dipandang dari kubu Prabowo-Sandiaga, yakni ketika mereka akan membawa status sebagai Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.
Kita tahu bahwa keanggotaan BPN Prabowo-Sandiaga terdiri dari beberapa partai politik, antara lain Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat. Oleh sebab itu, ketika kubu Prabowo-Sandiaga mau menggugat, keempat partai terpaksa harus ikut dibawa.Â
Pertanyaannya adalah, bukankah sikap masing-masing partai pendukung Prabowo-Sandiaga sudah berbeda dalam menanggapi hasil rekapitulasi suara yang telah diumumkan KPU?
Lalu pihak yang mengajukan gugatan mengatasnamakan apa dan siapa? Apakah hanya nama Partai Gerindra dan PKS saja?
Kalau demikian maka membawa nama BPN Prabowo-Sandiaga tidak patut dilakukan, karena pada akhirnya akan muncul persoalan, yaitu MK akan mempertanyakan "legal standing" gugatannya.