Karena sebaik apa pun konsep, desain dan proses pelaksanaan pesta demokrasi, jika masing-masing pihak tidak berusaha untuk bersikap lebih dewasa, hal-hal buruk akan terus menimpa bangsa ini. Pesta demokrasi yang sejatinya menjadi ajang berbenah malah berujung musibah.
Di atas disebutkan bahwa motivasi perhelatan pesta demokrasi yang berbarengan adalah persoalan efisiensi waktu dan dana. Betul, keduanya tercapai. Namun bukankah akan lebih baik lagi jika dipisah saja ke depan?
Dana dan waktu tidak boleh dijadikan alasan utama. Dampak konflik sosial yang mestinya dipertimbangkan. Untuk kepentingan pilpres saja sudah cukup meriuhkan, apalagi ditambah dengan pileg.
Bila diungkap jujur, di antara dua kepentingan, hanya pilpres yang sepertinya berhasil. Pilpres yang boleh dibilang sukses menyita perhatian masyarakat, sedangkan pileg tidak. Pileg tak ubahnya sebagai pesta pelengkap semata. Padahal para konstestan pileg lebih banyak, jumlahnya mencapai puluhan ribu orang.
Namun sekali lagi, perhatian publik terhadap kontestan pileg sebanyak itu kalah daripada kontestan pilpres yang hanya berjumlah empat orang. Jangan heran ketika mayoritas masyarakat pengguna hak pilih tidak tahu dan memang tidak mau tahu tentang persoalan pileg, siapa saja para calonnya, dan untuk apa para calon tersebut dipilih.
Oleh sebab itu, ke depan, alangkah baiknya bila perhelatan besar serupa, yaitu pilpres dan pileg diusahakan diadakan terpisah, entah berselang dalam hitungan mingguan atau bulanan. Tujuannya adalah supaya kedua kepentingan itu mendapat perhatian dengan porsi yang sama. Harapan terpilihnya pemimpin nasional berkualitas terwujud dan keinginan mendapatkan para wakil rakyat yang kompeten juga terealisasi.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H