Siapa pun pasti senang ketika berhasil berpose atau berfoto bersama orang-orang terkenal dan idola, misalnya artis, tokoh masyarakat, tokoh politik dan sebagainya. Entah dilakukan dengan pose selfie atau wefie, 'sesuatu banget' kata Syahrini.
Dan apalagi jika orang-orang terkenal tersebut adalah sekelas calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), yang notabene akan memimpin sebuah negara, rasa senangnya tentu luar biasa. Foto-foto hasil jepretan akan disimpan baik-baik supaya tidak terhapus, kalau perlu dicetak dan juga di-upload ke akun media sosial (medsos). Betul tidak?
Jadi, berpose bersama orang terkenal dan tokoh idola sangat baik, karena belum tentu momen serupa bisa terulang kembali, sehingga layak didokumentasikan. Namun tindakan tersebut kurang maksimal kalau hal itu dilakukan bersama capres-cawapres.
Ada hal penting lain yang lebih besar dibanding sekadar mengambil gambar bersama mereka. Apa itu? Ya janji mereka. Seluruh janji mereka harus ikut didokumentasikan dalam bentuk catatan atau tulisan. Menyimpannya dalam memori tidak cukup, karena bisa saja lupa atau dilupakan. Lagi pula, tidak semua janji yang mereka ucapkan ter-cover dalam tulisan, lebih banyak lewat lisan.
Ingat, janji adalah hutang, dan hutang harus dilunasi. Demikian nasihat dari orang-orang bijak.
Setumpuk janji yang disampaikan oleh para capres-cawapres, entah itu disampaikan pada saat debat atau pun di lokasi kampanye ketika bertemu dengan warga, harus ditunaikan kelak.
Lalu apakah semua janji capres-cawapres wajib dicatat, diingat dan kemudian ditagih di kemudian hari?
Oh tidak, menurut saya tidak semua. Janji-janji yang perlu dicatat adalah yang masuk kategori logis dan realistis. Karena terkadang para capres-cawapres asal mengumbar janji, padahal belum tentu ke depan bisa direalisasikan.
Bagi mereka, yang terpenting adalah bagaimana supaya warga terhipnotis dan ikut berkhayal bersama mereka. Mereka tidak peduli apakah janji-janji yang diucapkan mampu dilaksanakan atau tidak, pokoknya disampaikan saja.
Makanya warga yang mendengar dan membaca pernyataan para capres-cawapres harus pintar-pintar memilah, mana yang masuk kategori janji (logis dan realistis) dan mana pula pernyataan fantasi karena hasil halusinasi.
Selain itu, warga juga harus menelisik lebih jauh, para capres-cawapres pernah berjanji atau belum. Janji itu wajib menyangkut bidang profesi atau pelayanan yang sempat dan akan mereka emban, bukan yang lain. Lihat pula track record mereka, jangan sampai gara-gara mereka tidak mampu menunaikan janjinya, akhirnya warga yang disalahkan. Yang salah mereka, yang jadi sasaran amukkan malah warga. Benar nggak sih?