Peter Mokaya Tabichi (Peter), seorang guru Matematika dan Fisika di Sekolah Menengah Keriko, Desa Pwani, Nakuru, Kenya berhasil menyabet penghargaan bergengsi di bidang pendidikan, pemenang Global Teacher Award 2019 yang diselenggarakan Varkey Foundation. Peter sukses mengalahkan 10.000 nominasi lainnya yang berasal dari 179 negara. Dengan prestasinya yang menakjubkan tersebut, Peter dihadiahi uang sebesar US$ 1 juta atau setara dengan Rp14,2 miliar.
Acara penganugerahan penghargaan yang diperuntukkan bagi mereka yang memberikan kontribusi luar biasa pada profesi guru ini adalah tahun kelima diselenggarakan. Tahun lalu, penghargaan serupa diraih oleh seorang guru seni dari London Utara, Andria Zafirakou.
Apa istimewanya Peter sehingga bisa memenangkan hati pihak penyelenggara?
Peter telah membuat harum nama sekolahnya, di mana dia berhasil membawa murid-muridnya mencetak prestasi dalam kompetisi sains nasional dan internasional, termasuk memperoleh penghargaan dari Royal Society of Chemistry di Inggris.
Apakah hanya karena itu? Bukankah ada banyak guru di dunia ini yang justru lebih unggul dari Peter?
Kalau dibandingkan dengan guru-guru hebat lainnya yang lebih banyak lagi mencetak murid-murid terbaik, Peter jelas jauh di bawah mereka. Apalagi guru yang berkarya di wilayah perkotaan, prestasi mereka tidak mungkin dikalahkan oleh Peter.
Di atas disebutkan bahwa Peter adalah seorang guru di desa, yang pasti penuh keterbatasan. Di sekolahnya, Peter tidak memiliki akses fasilitas memadai seperti yang dijumpai di sekolah-sekolah di perkotaan. Tidak ada internet, buku-buku penunjang dan sebagainya yang seharusnya dia butuhkan.
Lalu bagaimana cara Peter mengajar mata pelajaran sains dengan fasilitas terbatas?
Supaya siap mengajar murid-muridnya dengan materi ajar yang cukup, Peter terpaksa rutin pergi ke warung internet (warnet) mencari beragam informasi untuk meningkatkan wawasan. Dan Peter harus membayar tagihan biaya dari uangnya sendiri.
Di samping keterbatasan fasilitas, Peter juga mesti bersusah payah mengajari murid-murid di kelas dalam jumlah banyak. Satu kelas bisa mencapai 70 sampai 80 orang. Bayangkan mengajari murid sebanyak itu, bukan perkara mudah. Belum lagi, mereka berasal dari keluarga tidak mampu, anak-anak miskin, yatim-piatu dan berkemampuan akademik rendah. Peter ibarat sedang menggosok sebongkah batu untuk dijadikan berlian.