Pertama kali dalam sejarah, pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus menginjakkan kaki di Uni Emirat Arab, pada Minggu, 03 Februari 2019. Sejak menjabat 2013 yang lalu, paus ke-266 ini juga pernah melakukan hal yang sama di beberapa negara lain berpenduduk mayoritas Muslim.
Usai melakukan perjalanan terbang selama 48 jam dari Vatikan, kedatangan paus asal Argentina tersebut disambut hangat oleh Putra Mahkota Abu Dabhi, Pangeran Syeikh Mohammed bin Zaved dan imam Al Alzhar Kairo, Syeikh Ahmed Al-Tayeb.
Salah satu agenda kedatangannya di sana adalah melakukan perayaan ekaristi bersama 135.000 umat Katolik di Abu Dabhi, yang kebanyakan berasal dari kelompok ekspatriat atau pendatang. Peristiwa ini pasti menjadi kegembiraan bagi umat karena belum tentu terulang, apalagi di tempat yang sama.
Di samping itu, paus berusia 82 tahun ini juga akan mengikuti konferensi lintas agama, di mana dihadiri para tokoh Muslim, Kristen, dan ratusan pemimpin agama Yahudi, Hindu, Budha dan aliran kepercayaan lainnya. "Pertemuan Persaudaraan Manusia", itulah tema dari konferensi tersebut.
Tanpa bermaksud mendahului rilis resmi dari hasil kunjungan sang paus, tema konferensi yang diusung cukup menarik untuk dibahas dan diterka.
Kedatangan mantan Uskup Agung Buenos Aires di tanah Arab ini bukan sekadar lawatan biasa. Umumnya jika seorang paus mendatangi sebuah tempat atau negara pasti ada sesuatu bahasan penting. Bahkan di negara yang mayoritas berpenduduk Katolik sekali pun.
Melihat tema, ternyata konferensi yang dihelat tidak hanya akan membahas urusan keagamaan, tetapi masalah kemanusian.
Dalam pesan videonya, paus mengatakan bahwa kunjungannya merupakan tanda 'babak baru dalam sejarah hubungan antaragama, mengonfirmasi bahwa kita semua bersaudara, meskipun kita berbeda'.
Kita berbeda, tetapi kita tetap bersaudara. Kita memang beda agama dan keyakinan, namun kita tetap sama sebagai manusia. Kira-kira demikian kesimpulan awal yang bisa diambil dari pertemuan langka tersebut.
Akhir-akhir ini konflik kemanusiaan sering terjadi di berbagai tempat. Ada banyak penyebabnya, dan salah satunya adalah persoalan agama. Perbedaan agama dan keyakinan menjadi alasan kelompok tertentu menindas kelompok yang lain. Misalnya saja kasus Rohingya yang hingga sekarang tak kunjung selesai atau perang antara kelompok Houthi dan negara Yaman yang kemungkinan akan membawa negara tersebut menuju ambang kehancuran, dan masih banyak lagi kasus-kasus lain.
Konflik karena perbedaan selalu diupayakan selesai dengan cara kekerasan, dengan perang. Itu semua tidak akan membuahkan hasil. Yang ada masalah semakin besar dan tidak akan pernah berhenti. Niat yang dirasa baik pun tidak tercapai. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi rendah.