Membentuk iklim yang dinamis sekaligus menjadi ruang belajar bagi para filmmaker tidak menjadi satu-satunya pengaruh positif adanya program Dana Keistimewaan. Karya-karya film yang diproduksi melalui Dana Keistimewaan banyak menyajikan lanskap Yogyakarta. Hal ini menjadi peluang untuk memperkenalkan beragam lokasi di Yogyakarta yang dapat menjadi alternatif baru atau sarana produksi yang kooperatif dan representatif. Secara tidak langsung tiap proyek film yang dikerjakan disini memiliki peran membangun sumber daya manusia dan sumber daya alam setempat yang sangat mungkin untuk mulai dikelola, sehingga memiliki nilai investasi yang berkelanjutan.
Membicarakan peran sebagai financial source, pemerintah pernah merespon industri film pada masa pandemi dengan merilis program Pemulihan Ekonomi Nasional. Pada saat itu, pemerintah tengah berupaya mengintegrasikan berbagai langkah untuk meminimalisir dampak pandemi Covid-19 melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam PEN terdapat subsektor yang difokuskan pada industri film, terkhusus untuk film yang telah diproduksi namun belum dapat terdistribusi karena adanya pandemi Covid-19 di Indonesia.
PEN memberikan dukungan dana kurang lebih sejumlah 1,5 miliar yang diperuntukkan bagi film-film yang akan ditayangkan di bioskop. Dana ini disiapkan untuk kebutuhan promosi agar film-film yang telah diproduksi dapat merealisasikan rencana distribusinya. Melalui hal ini pemerintah berupaya mengambil peran untuk mengembalikan perekonomian pada sektor industri kreatif di bidang film dengan berangsur memulihkan perekonomian dengan kembalinya penonton ke bioskop.
Pada akhirnya dapat diketahui bahwa pemerintahan, baik secara regional maupun nasional, memiliki upaya dan peran dalam membangun sektor ekonomi kreatif. Kembali pada peran pemerintah sebagai financial source melalui adanya Dana Keistimewaan, alangkah lebih baik apabila terdapat pembaruan program dan konsep baru. Regulasi yang ditentukan dengan dua kali maksimal keikutsertaan membuka kesempatan dan membentuk pola regenerasi. Sayangnya, sepertinya hal ini memunculkan polemik baru setelah beberapa lama program ini berjalan, yakni mulai berkurangnya peserta di beberapa tahun belakangan. Penggagas dan pengampu program dapat meninjau wacana baru, misal hibah dana untuk program film panjang.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk sirkuit distribusi film. Menggandakan film dalam format DVD dan mendistribusikan ke TV lokal setempat dapat dikatakan sebagai metode yang tidak lagi relevan saat ini. Mempelajari dan mulai membangun pola baru dengan bekerjasama dengan festival film nasional, maupun internasional sangat mungkin dapat dijadikan pertimbangan. Selain untuk menempatkan karya-karya film di ruang eksibisi yang lebih luas, hal ini diharapkan secara organik meningkatkan kualitas output film yang diproduksi melalui Dana Keistimewaan. Meski sudah mencapai posisi yang establish, setiap program hendaknya tidak pernah berhenti untuk terus mencari ide segar dalam pelaksanaannya, sehingga keberlangsungan program dapat bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama hingga di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H