Kami dua bersaudara yang dilahirkan di desa yang menurut kami sedikit gersang, sedikit pohon rindang, dan kurang sekali rerumputan hijau. Desa kami dipenuhi banyak bangunan rumah, bahkan tanah kosong pun jarang, sehingga banyak gang kecil dan susah untuk parkir kendaraan.Â
Kami dibesarkan di sebuah rumah dengan bangunan tua, memang ibu adalah anak terakhir dan sudah menjadi kebiasaan anak terakhir yang menjadi penghuni rumah asli/rumah mbah kami.Â
Semenjak duduk di bangku sekolah menengah, kami di sekolahkan di pesantren sehingga kami harus meninggalkan rumah dan itu berarti bapak dan ibu terbiasa hidup berdua tanpa kami.
Setelah lulus kuliah kami berjodoh dengan lelaki yang sama-sama tinggal jauh dari rumah, bahkan salah satu dari kami berjodoh dengan orang dari lain kabupaten. Jadi mau tidak mau harus meninggalkan rumah demi mencari ridho suami.Â
Bapak dan ibu lagi-lagi tetap hidup berdua di rumah masa kecil kami, setiap liburan dan lebaran mereka selalu menantikan kedatangan kami dan cucu-cucu kesayangannya.Â
Dan lebaran kemarin, kami  bisa berkumpul bersama keluarga di rumah masa kecil kami dengan formasi lengkap, ada senyum bahagia di wajah bapak dan ibu kami, ada canda tawa ketika bermain dengan cucu-cucunya, kami yakin mereka sangat bahagia dan berharap momen ini tidak akan cepat berlalu.Â
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, satu persatu dari kami kembali pulang ke rumah masing-masing, segurat kesedihan terlukis di wajah bapak dan ibu.Â
Dan hari ini, aku melihat kesedihan terbendung di mata bapak dan ibu, di saat kerinduan masih menggebu tetapi waktu yang memaksa pertemuan ini segera berlalu.Â
Dengan berat hati melepas kepergian kami, merapalkan doa untuk kesuksesan kami, kesehatan kami dan kebahagiaan kami. Walaupun mereka akan menanggung rasa kesepian lagi di rumah masa kecil kami.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H