Heidegger,
Berani sekali Kau menuduh mereka
Katamu, mereka itu terlalu kuno
Karena mereka selalu diam di sana
Mereka bertanya: “Mengapa ada sesuatu?”
Tak takut Kau mengaum:
Pertanyaan itu sangat biasa, tau...
Bosan!
Dari dulu tak pernah berubah!
Tak sedetik pun kau berhenti menghantam mereka:
Di mana pikiranmu?
Di mana perasaanmu?
Di mana juga instingmu?
Intuisimu,
Segala darimu,
Sudah dimakan habis kutu busuk ya?
Kau mengejek mereka:
Memangnya tidak bisa kreatif ya?
Dari dulu pertanyaannya hanya itu,
katamu agak kecewa:
Mengapa ada ini?
Mengapa ada itu?
Mengapa ada sesuatu?
“Bodoh kau!”, kau mulai menghakimi:
Hahahaha....
Itu responsmu
Menertawakan mereka
Menurutmu, mereka hanya mau mencari tahu:
“Apa sebab semua ini?”
...
Kau diam sejenak
Kali ini kau tak mau tertawa lagi
Kau hanya bisa menatapku dalam
Seolah-olah aku biang keroknya
Padahal aku bukan mereka
Memandang biji mata mereka pun aku tak pernah
Lalu, kau mau apa?
Mengapa harus ada sesuatu?
Dan bukan tidak ada sesuatu?
Mengapa?
Kau diam lagi!
Mungkin ini telah usang
Usianya telah usai
Jangan lagi tanyakan:
“Mengapa ada sesuatu?”
Tapi, tanyakanlah: “Mengapa tidak ada sesuatu?”
Itulah simpulmu menutup horizon mereka
...
Kutatap beranda kota dan jalan-jalan
Banyak pengemis berserakan
Mengotori debu tanah kota dengan liur najis
Dasar laknat mereka itu
Massa berteriak:
Mengapa ada pengemis?
Salah siapakah semua ini?
Kudiam
Terpaku tanpa kata
Mematung tanpa nyali
Hangus tanpa terbakar terik khatulistiwa
Akhrinya, menghilang tanpa cerita
Dan aku pun tiada
Di sini aku ada
Tapi aku pun tiada
Hampir kutangkap kaki ekor cerahnya
Tapi sayang, semua ini masih misteri
Sungguh, Aku pun tak paham!
Kini hanya aku di sini
Ada dan tiada
Hanya nalar beradu dahsyat
Rasa menusuk dalam
Insting terpacu cepat
Intuisi menakar jauh
Mengobrak-abrik realitas
Berusaha membuka horizon baru
Tapi juga sayang, tak kutemukan jawaban:
Siapa penyebab semua ini?
Mungkin harus kuakui: Kau benar!
Seharusnya bukan kutanya: apa sebab semua ini?
Akan kutanya, mengapa kuingin semua ini tak ada?
Mungkin aku tak mau disaingi?
Atau kutak mau liur najis mengotori kotaku?
Aku pun tak tahu!
Lalu, Heidegger, kau mau apa?
Yogyakarta, 6 Juni 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H