Mohon tunggu...
Tubagus Riburatnam
Tubagus Riburatnam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kadang-kadang pingin posting, tapi seringnya mentok!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apatisme, Kecenderungan Manusia Akibat Cinta Dunia dan Kekayaan

20 Oktober 2011   21:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:42 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari ini kita digegerkan oleh sebuah tragedi yang terjadi di China dimana seorang bocah, Yue Yue namanya, yang ditabrak lari oleh sebuah van dan kemudian dibiarkan terkapar-kapar oleh 18 pelintas di pasar yang sibuk di kota Foshan, Provinsi Guandong, Kamis (13/10/2011). Bahkan sebuah truk melindasnya lagi untuk kedua kalinya. Saya sangat miris sekali melihat kejadian seperti ini.

Kalau diperhatikan sebenarnya kejadian semacam ini bukan hal yang aneh lagi pada jaman sekarang. Apa bedanya dengan kasus-kasus yang telah terjadi di negara kita seperti kasus mutilasi, pembuangan bayi, pembunuhan, dan lain sebagainya. Semuanya sama-sama melibatkan manusia yang tidak berprikemanusiaan. Bahkan kalau dibandingkan kasus mutilasi dimana tubuh manusia dipotong-potong menjadi beberapa bagian, kejadian di China itu masih mendingan. Tetapi masalahnya ketika kejadian itu telah melibatkan 18 orang manusia yang tidak mau menghiraukannya. Dan kemudian seluruh dunia melihatnya melalui video yang diupload ke internet. Dari sinilah kejadian yang mungkin juga pernah atau bahkan kerap terjadi di sekitar kita menjadi sebuah perbincangan hangat di seluruh penjuru dunia.

Krisis moral, boleh dibilang seperti itu. Hal ini merupakan efek dari perubahan jaman yang menyeret manusia menjadi sangat apatis, kehilangan hati nurani dan menjadi si raja tega. Cikal bakal dari semua itu adalah kecintaan manusia terhadap kehidupan dunia dan materi (kekayaan). Berjuta-juta orang berlomba-lomba sikut kiri sikut kanan mencari materi. Yang sudah kaya masih berambisi untuk mengeruk kekayaan agar hartanya bertumpuk dan berlimpah ruah sementara yang miskin pun perlu makan untuk berusaha mempertahankan nyawanya, demi kehidupannya di dunia. Mungkin apa yang mereka lakukan baik si kaya maupun si miskin tanpa pernah menghiraukan kepentingan yang lainnya. Semua berusaha sendiri-sendiri.  Si kaya tidak mau peduli dengan keadaan si miskin, apalagi si miskin boro-boro memperdulikan keadaan orang lain, toh untuk dirinya sendiri saja sudah susah.

Tetapi apakah seperti itu seharusnya manusia menjalani kehidupannya?

Padahal manusia diciptakan sempurna dengan penuh hikmah, adanya keseimbangan. Diciptakan tangan kanan dan kiri agar bisa saling membantu. Diciptakannya mata kanan dan kiri agar pandangannya menjadi luas. Diciptakannya kaki kanan dan kiri agar berjalannya seimbang dan juga diciptakan telinga kanan dan kiri agar pendengarannya seimbang. Bayangkan seandainya manusia yang mempunyai kedua kakinya tidak selaras, kedua tangannya tidak saling peduli atau salah satu telinganya tidak berfungsi. Disamping itu hakikatnya manusia juga sebagai makhluk sosial yang selalu memerlukan kehadiran orang lain dalam kehidupan normalnya.

Sehingga kejadian-kejadian diatas merupakan bentuk-bentuk akibat dari kecintaan manusia kepada dunia dan kekayaan. Hal inilah yang membuat manusia lupa akan hakikat kemanusiaanya yang harus saling menyayangi, tolong menolong dan saling bahu membahu. Bahkan kecintaannya kepada dunia membuat dia rela membuang hati nuraninya sejauh mungkin sehingga hatinya hanya dipenuhi dengan nafsu dan keserakahan. Kalau sudah begini rasa tega menjadi sebuah keniscayaan.

Contoh lain di negara kita adalah korupsi. Korupsi menjadi sangat tren di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan yang notabene pemimpin rakyat yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyatnya, ini malah sebaliknya. Kecintaan mereka terhadap kekayaan mampu menghilangkan hati nuraninya sehingga tega mengambil harta yang seharusnya diberikan kepada masyarakat. Bukan karena mereka kekurangan, tetapi karena rasa cintanya kepada kekayaan telah menutup hatinya dari kesadaran terhadap tanggung jawabnya.

Sama juga apa yang terjadi di China. Ketakutan para pelintas akan kehilangan uangnya atau dituntut ikut bertanggung jawab, membuat mereka rela membuang hati nuraninya sehingga tega membiarkan manusia yang berlumur-lumur darah memerlukan bantuan. Diberitakan juga bahwa beberapa kejadian sebelum ini di China, orang yang rela memberikan bantuan kepada seseorang malah dituntut ikut bertanggung jawab. Seperti di tahun 2006, seorang pria Nanjing yang mendampingi seorang perempuan tua ke rumah sakit setelah perempuan itu mengalami patah kaki justru diperintahkan untuk membayar 40 persen tagihan rumah sakit perempuan itu. Alasannya, bahwa pria itu rela membantu perempuan tersebut jika ia sama sekali tidak bertanggung jawab atas kecelakaan dan cedera yang dialami perempuan itu.

Juga dari apa yang dikatakan sopir van yang menabrak Yue Yue kepada China Daily sebelum dia menyerahkan diri kepada polisi, "Jika dia (gadis itu) tewas, saya mungkin hanya membayar sekitar 20.000 yuan (3.180 dollar AS), Tapi jika dia cedera, itu mungkin membebani saya hingga ratusan ribu yuan."

Mengambil hikmah atas kejadian tersebut,  seyogianya kita sama-sama menyadarkan diri kita sendiri karena mungkin suatu waktu kita yang menjadi obyek kejadian semacam itu. Pada hakekatnya apa yang kita lakukan untuk orang lain adalah untuk kita sendiri. Saat ini kita menolong orang lain, lain saat kita yang membutuhkan pertolongan orang lain. Mungkin boleh dibilang menjadi satu keseimbangan. Take and give.

Maka dari itu juga keseimbangan dalam kehidupan manusia itu sangat perlu dipertahankan bahkan dipupuk lagi agar ketentraman dan kenyamanan hidup manusia tetap terjaga. Saling menyayangi antar sesama manusia, tolong menolong serta saling peduli terutama kepedulian si kaya terhadap si miskin akan semakin memperkuat persaudaraan, kebersamaan dan kepedulian antar sesama manusia. Harta yang berlebihan tidak lantas membuat dia lupa akan jati dirinya sebagai manusia yang harus memberikan sebagian kelebihannya kepada yang kekurangan. Dan kesemua ini telah dicontohkan pada kehidupan jaman Rasulullah saw.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun