Mohon tunggu...
Tubagus Rangga Efarasti
Tubagus Rangga Efarasti Mohon Tunggu... lainnya -

Tubagus Rangga Efarasti Aku cuma ingin belajar menulis, karena aku cuma gelas kosong yang bervolume. Akulah anak kunci yang mencari lubang kepastian, bukan yang tergantung pada paku berkarat. Karena akulah pria yang memberimu kesan pada sebuah kesetiaan. Terus menulis dan menulis terus hingga kutemukan dunia ini tidak selebar celana kolor... *^_^*

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FPK] Kerak Tua Lautan Airmata

29 Oktober 2011   04:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:20 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dalam Perhelatan Akbar Festival Puisi Kolaborasi (FPK) Fiksiana Community

.

Tema : Hubungan Manusia dengan Alam

Judul : Kerak Tua Lautan Airmata

Penulis : Tubagus Rangga Efarasti & Adiba Ad-Dawiyah

No. Peserta : 180

.

***

.

.

Kerak Tua Lautan Airmata

.

.

tubuhku berdebu pasir gurun di sela terik dan gigil bayang,

beton-beton menindihku selaras beku jalan layang

terinjak-injak miliaran yang berdiri tegap

dengan sorot mata liar, merah nyala menerobos gelap

.

diriku didera keluh menyeluruh

nafsu meraja ganas tak berbatas

diamku dimakna tak berdaya

segeralah jajah menjamah ranah

.

seakan tak tahan lagi kusimpan galau

muak sudah saksikan suara sumbang dan parau

setiap mulai hari kusantap gerutu

dari mulut bergincu atau mulut bercerutu

ingin kuenyahkan saja

hati-hati yang membaja

.

beban kupikul sendiri saja

tumpang tindih mengkristal sedih

masihkah belum kalian merasa puas

melihat hutanku mulai meranggas

selimutku hampir terkikis habis

.

kalian tiba-tiba menyelinap di antara suara mencekam

kemudian tenggelam malam dalam kebisuan terdalam

angin terus mengaduh menampar pucuk-pucuk daun

batang-batang teduh menggelepar, tak ada lagi embun

.

menguap angin surga, terganti bara neraka

damai jadi asing, karena ingin beriring taring

tegurku dimaknai hambar

sekedar lalu lalang fenomena alam

.

masih adakah suara merdu

kurasa tak ada yang tersisa selain sendu

sinar terang sepotong bulan pun mulai angkuh

membelai rambut kalian yang gemar berselingkuh

dari ajaran Tuhan, damai jadi bobrok tak bertuan

aku jadi borok, tambah kesakitan

.

tunggu saja, ketika kusibak bungkam

muntahkan beban dalam pendam dendam

kendati bijak mengajak beranjak

lukaku sudahlah terlalu banyak

.

kerontangkan saja persediaan mineralku

sampai tubuhku yang renta terkikis

padahal berulang kali kubuat beku

letih kulewati batas-batas garis

bersiaplah kalian menangis

hingga kalian teriak histeris

tragis!

.

tercium tamak, kala jemari jail menari anggak

takkan berhenti hingga diri tak bersisa lagi

muak penuh sesak berontak lalu ledak mungkin tak terelak

sungguh tak pernahkah kalian sadari

takkan ada tempat mengungsi saat tubuhku hancur lebur

tidak juga mars atau yang lainnya

.

hoekkk... ups, maaf barusan aku muntah

perutku mual lihat tingkah kalian yang mentah

hiksss... ups, maaf aku juga bisa menangis

mataku kelilipan karena perilaku kalian yang bengis

maaf, maaf... aku cuma ingin kalian sadar

setelah jutaan dari kalian kubuat menggelepar

akulah kerak tua yang setiap hari kalian injak-injak

lautan airmata dari sejarah matahari tak jinak

.

.

Serang, Banten - Bekasi, Jawa Barat, 29 Oktober 2011

.

.

*) Keterangan:


  • Kiri : Adiba Ad-Dawiyah
  • Kanan : Tubagus Rangga Efarasti

.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun