Mohon tunggu...
Tubagus Nursayid 1
Tubagus Nursayid 1 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hobi olahraga, seorang yang mempunyai daya juang tinggi dalam belajar, topik yang disukai tentang olahraga dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Update Diri

16 Desember 2024   19:52 Diperbarui: 16 Desember 2024   20:00 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sering kita dengar bahwa perempuan mandiri lebih banyak daripada pria mapan. Pernyataan ini kerap muncul di berbagai platform, terutama media sosial, dan menjadi pembahasan hangat. Namun, anggapan ini tidak hanya menunjukkan kekhawatiran terhadap perubahan peran gender, tetapi juga membawa asumsi yang bias tentang pasangan hidup. 

Salah satu biasnya adalah menganggap pasangan hidup sebagai cerminan diri secara literal, yang dinilai hanya berdasarkan pertemuan, bukan perjalanan hidup mereka. Padahal, cerminan diri yang sebenarnya terletak pada proses keseharian, perjuangan, dan upaya seseorang untuk memperbaiki diri, bukan hanya hasil instan saat bertemu pasangan.

Pandangan tentang pasangan sebagai refleksi instan seringkali muncul karena pemahaman sempit tentang nilai-nilai agama dan norma sosial. Misalnya, ayat Al-Quran Surat An-Nur ayat 26, yang berbunyi, "Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita- wanita yang baik pula," seringkali digunakan untuk mendukung pandangan ini. Namun, ayat ini tidak berbicara tentang kesesuaian langsung antara dua individu, melainkan menekankan pentingnya kualitas diri yang dibentuk melalui proses. Kebaikan seseorang bukan sesuatu yang tiba-tiba, melainkan hasil dari perjalanan panjang yang melibatkan pembelajaran, introspeksi, dan kesadaran akan tanggung jawab personal. Dalam hal ini, pasangan hidup bukanlah cerminan statis diri kita, tetapi hasil dari proses yang dinamis.

Surat An-Nisa ayat 34 juga memberikan perspektif penting tentang dinamika hubungan suami istri. Ayat ini menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita karena tanggung jawabnya dalam menjaga dan menafkahi. Namun, kepemimpinan ini tidak menunjukkan keunggulan mutlak laki-laki atas perempuan. Ayat ini lebih berbicara tentang harmoni dalam pembagian peran, di mana laki-laki dan perempuan saling melengkapi berdasarkan potensi dan tanggung jawab mereka masing-masing. Harmoni ini hanya dapat tercapai jika kedua pihak memahami pentingnya saling mendukung dan saling memahami, bukan melalui kesesuaian mutlak yang terwujud secara instan.

Membatasi konsep pasangan hidup hanya sebagai cerminan diri secara literal juga mengabaikan kompleksitas hubungan manusia. Banyak hubungan justru berkembang melalui perbedaan yang ada di antara pasangan. Dalam kerangka ini, pasangan bukan hanya tentang mencocokkan dua individu yang identik, tetapi tentang membangun kemitraan yang kuat berdasarkan perbedaan dan keinginan untuk saling melengkapi. Mengasumsikan bahwa pasangan hidup harus selalu sesuai dengan kualitas pribadi kita adalah pandangan yang tidak hanya sederhana, tetapi juga tidak adil. Pandangan ini mengesampingkan fakta bahwa banyak hubungan yang dibangun melalui kerja keras, komunikasi, dan komitmen, bukan sekadar kesesuaian instan.

Selain itu, narasi tentang "cewek independen banyak, cowok mapan sedikit" juga menyiratkan anggapan bahwa standar kesuksesan laki-laki dan perempuan dapat diukur dengan parameter yang seragam. Padahal, kemandirian seorang perempuan tidak selalu harus disejajarkan dengan kemapanan materi seorang laki-laki. Perubahan sosial telah memungkinkan perempuan untuk membangun kehidupan yang lebih otonom, sementara laki-laki juga mulai menjelajahi peran baru yang melampaui sekadar pencari nafkah.

Penting untuk memahami bahwa kehidupan pasangan tidak hanya ditentukan oleh hasil akhir pertemuan, tetapi juga oleh proses panjang yang melibatkan perjuangan, doa, dan refleksi diri. Cerminan diri yang sejati tidak terjadi pada saat seseorang bertemu pasangannya, tetapi dalam perjalanan keseharian yang mencerminkan nilai-nilai yang mereka anut dan perjuangan mereka untuk memperbaiki diri. Pandangan ini memberikan ruang yang lebih luas untuk menerima keragaman pengalaman dan dinamika hubungan manusia, yang tidak dapat disederhanakan hanya melalui narasi "cocok atau tidak cocok."

Pada akhirnya, hubungan yang sehat dan bermakna adalah hubungan yang dibangun melalui kerja sama, bukan melalui kesesuaian mutlak. Narasi tentang "cewek independen dan cowok mapan" perlu didekonstruksi agar tidak menjadi beban sosial yang mengkotak-kotakkan peran gender dan mengabaikan kompleksitas hubungan manusia. Jodoh, dalam pandangan agama maupun realitas sosial, adalah bagian dari takdir yang melibatkan usaha, doa, dan keikhlasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun