Mohon tunggu...
Tubagus Nursayid 1
Tubagus Nursayid 1 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hobi olahraga, seorang yang mempunyai daya juang tinggi dalam belajar, topik yang disukai tentang olahraga dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Standar Hidup Media Sosial

14 Desember 2024   12:29 Diperbarui: 14 Desember 2024   12:29 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial seperti TikTok dan Instagram telah membentuk realitas yang dikonstruksi melalui narasi visual dan digital, menciptakan standar ideal yang mendorong masyarakat untuk mengevaluasi diri berdasarkan standar eksternal. Konten ini menyentuh aspek materialisme, hedonisme, dan hubungan interpersonal, menimbulkan pertanyaan tentang autentisitas kehidupan yang dipamerkan.Media sosial seperti TikTok dan Instagram telah membentuk realitas yang dikonstruksi melalui narasi visual dan digital, menciptakan standar ideal yang mendorong masyarakat untuk mengevaluasi diri berdasarkan standar eksternal. Konten ini menyentuh aspek materialisme, hedonisme, dan hubungan interpersonal, menimbulkan pertanyaan tentang autentisitas kehidupan yang dipamerkan.

Sartre menekankan kebebasan manusia dalam menentukan esensi dirinya, namun media sosial sering kali mendorong individu untuk hidup sesuai ekspektasi eksternal, mengabaikan kebebasan mereka. Konten viral tentang kesuksesan, kebahagiaan, dan hubungan ideal menciptakan ilusi bahwa kehidupan harus sempurna, sementara Kierkegaard menekankan pentingnya menjalani hidup sesuai nilai-nilai pribadi, meskipun melawan arus dominasi budaya.
Teori perbandingan sosial Festinger menjelaskan kecenderungan manusia untuk mengevaluasi diri berdasarkan perbandingan dengan orang lain. Representasi yang dipilih dengan hati-hati di media sosial memperkuat standar yang tidak realistis dan menciptakan tekanan psikologis. Pembuat konten juga menjadi korban ekspektasi mereka sendiri, terjebak dalam kebutuhan untuk mempertahankan citra sempurna. Psikologi perkembangan Erikson menunjukkan bahwa konten tentang kehidupan dewasa sering kali dihasilkan oleh individu yang masih berada dalam tahap pencarian identitas, yang mungkin tidak relevan dengan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda.
Kierkegaard mengingatkan bahwa kehidupan yang bermakna didefinisikan oleh kejujuran terhadap diri sendiri, bukan standar dunia luar. Media sosial dapat menjadi cermin palsu yang menampilkan refleksi ideal, tetapi juga dapat menjadi alat inspirasi dan pertumbuhan jika dikelola dengan kesadaran. Masyarakat perlu memahami bahwa setiap individu memiliki ritme dan perjalanan hidupnya sendiri, dan tidak semua orang harus mencapai standar yang sering kali dipamerkan dalam konten viral.
Media sosial hanyalah medium, bukan penentu nilai manusia. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang psikologi dan refleksi filosofis, kita dapat membebaskan diri dari tirani standar maya. Kebahagiaan sejati terletak pada keberanian untuk menjadi diri sendiri dan menciptakan makna berdasarkan nilai-nilai pribadi, bukan meniru apa yang viral. Keaslian adalah bentuk pembebasan dari tekanan eksistensial yang diciptakan oleh dunia maya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun