PENDIDIKAN adalah sektor yang sangat sering menjadi korban pergantian. Karena sedemikian seringnya menjadi korban, pendidikan merupakan salah satu sektor yang paling tertinggal di negeri ini.
Ada banyak bukti mengenai hal itu. Misalnya, ganti menteri ganti kurikulum. Sekalipun kritik berhamburan, sang menteri tetap jalan terus dengan keinginannya. Celakanya, selalu ada pihak yang memberi dukungan dan argumentasi yang meyakinkan sehingga sang menteri melakukan pergantian.
Gonta-ganti tampaknya merupakan nasib yang menimpa dunia pendidikan kita. Sebuah nasib yang pada akhirnya tidak bisa lain harus ditanggung anak didik dan orang tua.
Di masa silam, contohnya, buku pelajaran dapat diwariskan dari satu anak ke anak lain, dari kakak kepada adik. Sebuah penghematan yang berarti karena orang tua tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli buku pelajaran baru.
Kemudian, kurikulum berganti. Tentu, akibatnya, diperlukan buku pelajaran yang baru. Buku pelajaran lama tidak dapat dipakai lagi.
Tetapi, cerita tidak berhenti hingga di situ. Ketika kurikulum menjadi mapan, buku pelajaran tetap saja tidak dapat diwariskan. Tiap tahun ajaran baru, tiap kali itu pula anak harus membeli buku baru sekalipun buku yang sama dimiliki sang kakak.
Apa pun motif dan alasannya, dunia pendidikan Indonesia adalah dunia yang memang sangat sering diterpa pergantian. Yang mengerikan ialah pergantian itu bahkan semata hanya menyangkut kulit luarnya. Tidak ada hubungan dengan mutu pendidikan, tidak ada kaitan dengan mempersiapkan generasi baru Indonesia yang lebih tangguh dan lebih cerdas menghadapi kehidupan yang lebih kompleks.
Dewasa ini pun dunia pendidikan kita kembali dihadapkan pada pergantian. Inilah pergantian akibat berlakunya undang-undang yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dalam undang-undang ini tidak ada lagi istilah SLTP (sekolah lanjutan tingkat pertama). Juga, tidak ada lagi istilah SLTA (sekolah lanjutan tingkat atas). Yang ada ialah SMP (sekolah menengah pertama) dan sekolah menengah atas (SMA).
Karena dalam undang-undang tidak ada lagi SLTP dan SLTA, yang ada SMP dan SMA, maka Departemen Pendidikan Nasional sekarang menyerukan agar SLTP mulai diganti dengan SMP dan SLTA diganti dengan SMA. Perkara yang tampaknya sederhana, kelihatannya enteng, sekadar ganti nama. Padahal, dampaknya sangat jauh. Papan nama sekolah harus diturunkan, diganti yang baru. Baju sekolah yang sekarang harus masuk gudang, diganti dengan baju bertanda sekolah yang juga baru. Dan, tentu, semua dokumen dan administrasi seperti kertas dan kop surat sampai rapor sekolah pun harus diganti.
Semua itu harus diganti karena dalam undang-undang tidak lagi dikenal SLTP dan SLTA. Semua harus diganti menjadi SMP dan SMA, seperti di zaman sebelumnya, karena memang itulah yang tertera di dalam undang-undang.
Lagi-lagi, semua itu hanya ganti papan nama. Sebuah pergantian yang tidak punya urusan, tidak punya relevansi dengan meningkatnya mutu pendidikan.