Mohon tunggu...
Nyonya Besar
Nyonya Besar Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Verified

Sering marah, tapi gak suka marah, hobinya masak, padahal gak bisa juga, senang kalau menang di debat kusir, sering juga mikir yang gak penting-penting, trus marah-marah, gak bisa berhenti makan (saya hanyalah wanita biasa), bahagia saat nonton drama korea sambil nangis sesegukan, tidak punya bakat olahraga tapi kecanduan badminton dan voli. Pengennya suka nulis, tapi malas baca, malas tidur, lebih malas lagi kalau bangun, lemah hati tapi bohong demi imej.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Skripsi: Pembelajaran Tingkat Tinggi

21 April 2021   10:43 Diperbarui: 21 April 2021   10:48 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru saja baca tulisan mahasiswi psikologi yang lagi berjuang nulis skripsi. Semoga dilancarkan deh. Saya pernah juga nulis skripsi, beberapa kali. Bantuin junior beberapa orang juga. Jadi rasanya tidak ada yang sulit soal nulis skripsi, hanya saja dibuat sulit.
Skripsi ditulis biasanya saat mahasiswa berada di fase akhir. Entah mengapa sebagian besar perguruan tinggi maunya begitu. Ada sih yang mulai berubah, jadi mahasiswa sudah mulai "nyicil" skripsi sejak semester tengah. Tujuannya supaya jadwal kelulusan tepat waktu saja. Sungguh tujuan yang baik namun tujuan kegiatan pembelajarannya tidak ada.

Saya setuju sama mahasiswi psikologi tadi.  Skripsi melatih penulisnya untuk membaca dan menafsirkan data kemudian menuliskannya dalam bahasa formal. Tapi selalunya tujuan itu tidak kena sasaran.
Hanya karena semua pihak kehilangan arah tujuan, jadi skripsi sekarang seakan menjadi momok bagi mahasiswa.  Buat saya nih ya, menulis skripsi itu paling sulitnya adalah nemuin dosen. Sisanya tidak ada kesulitan sama sekali. Mulai dari judul, sampai presentasi, semuanya mudah. Mungkin banyak yang tidak sadar bahwa sidang skripsi sebenarnya adalah ajang pertemuan antara pembimbing dan penguji saja. Kalau pembimbingnya disegani, otomatis pengujinya ciut. Jadi bukan si penulis yang sedang diuji. Si penulis hanyalah seorang penulis belaka. Tidak ada kata maupun angka yang sebenarnya milik penulis. Semua adalah milik pembimbing. Bila pembimbing menolak, sidang tidak akan digelar.
Mau jenjang Sarjana satu hingga doktoral semua begitu di negara ini. Entah bagaimana keadaannya di negara lain ya. Tidak percaya kan?

Menurut saya lagi nih, tujuan sebenarnya dari menulis skripsi adalah penelitiannya. Mau bentuknya kualitatif maupun kuantitatif, cara nelitinya yang paling penting. Hasilnya sama sekali tidak penting. Jiwa seorang peneliti itu yang harus dipupuk, digali, diarahkan.

Bagaimana mungkin?
Yang membimbing juga seringnya gak paham dengan tujuan ini. Yah, susah juga kalau mau cari siapa yang salah sih. Kalau saja kesejahteraan dosen pembimbing itu lebih dari layak, pasti mereka bisa membimbing dengan baik. Mungkin bisa ikut kursus jadi pembimbing, jadi pengetahuannya bertambah dan bisa ditularkan dengan cara yang baik pula.

Ini kondisi yang susahnya minta ampun. Menyalakan api pasti mampu dilakukan bila ada bahan dasarnya dan tahu caranya. Seorang pembimbing yang beruntung, bisa ketemu dengan mahasiswa yang punya "bahan dasar". Tapi bila pembimbing sendiri tidak tahu mau kemana. Kelar deh.
Ini mengapa banyak sarjana  yang tidak memiliki cara pikir analitik. Pasti sering kan ketemu sarjana yang rasanya kok bisa begitu. Gimanaaaa gitu lho.

Nih ada tips-nya:
Baca yang banyak sekali. Kalau baca harus dimengerti. Setiap bacaan yang baik, ada daftar pustakanya. Diikuti tuh daftar pustakanya. Biasanya setelah diikuti kepustakaannya, ketahuan itu bacaan bohong atau beneran neliti. Ini proses dimana kalian akan jatuh hati dengan membaca. Awalnya sedikit dipaksa, lama-lama ketagihan. Habis baca, jadikan sebagai bahan diskusi/ obrolan ke teman-teman yang nyambung. Ulangi begitu terus.
Dari baca tadi, mudah ketemu masalah. Kalau soal judul mah, pembimbing punya selera, itu sebenarnya sampai kapa juga kalau mereka gak selera dengan judul yang diajuin, ya percuma. Jadi buat judul, lemesin aja.

Itu tips buat bab 1 dan 2. Kalau bab 3, ini baru deh inti segala inti. Metode penelitian ini adalah jiwanya. Disini kalian ceburin diri. Bayangin jadi peneliti sebenar-benarnya. Untuk mudahnya, tinggal bandingkan dengan penelitian lain saja. Bahkan kalau perlu jiplak saja. Lho?? Emang boleh? Ya boleh dong. Kalau penelitian sebelumnya dilakukan di tahun 1980, belum tentu hasilnya masih valid di tahun Covid. Atau hasil penelitian terdahulu dilakukan pada ayam jantan di Jawa, mungkin sekarang beda bila variabelnya ayam jantan di Kalimantan.
Kemudian bab 4 tinggal pakai aplikasi deh. wah keterlaluan mudahnya. Masukin data ... cret! keluar hasilnya. Tidak perlu dimanipulasi. Kan ini bukan politik.  Kalau kalian di fakultas ilmu politik pun, ini kan skripsi, bukan politik beneran.
Bab 5 tinggal pengakuan saja. Kalimatnya? Tanya pembimbing mereka maunya bagaimana. Makin kita nurut dengan kemauan mereka, makin sedikit koreksinya.

Mudah kan? Apalagi kalau sudah biasa nulis. Waaaaa... mungkin sambil nonton drakor juga bisa beres.
Dengan pengetahuan ini, yang dari saya ini hari ini, di hari Kartini ini, mulai sekarang... tulislah skripsimu dengan bahagia, dengan rasa ingin tahu, dengan rasa bangga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun