Kemajuan teknologi digital telah membawa perubahan dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam aktivitas ilegal seperti prostitusi dan perdagangan orang. Salah satu fenomena yang berkembang saat ini adalah penyalahgunaan aplikasi Me Chat dalam jaringan prostitusi online. Aplikasi ini sering dimanfaatkan sebagai sarana transaksi prostitusi yang berpotensi masuk dalam kategori Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Selain itu, regulasi yang berlaku dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 1 Tahun 2024 serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga memberikan landasan hukum dalam mengatasi fenomena ini. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana penyalahgunaan teknologi dalam prostitusi online dapat dijerat secara hukum serta bagaimana negara memberikan perlindungan bagi korban eksploitasi seksual berbasis digital.
Fenomena prostitusi online melalui aplikasi Me Chat umumnya terjadi dalam tiga tahap utama. Pertama, perekrutan dan penjajakan klien, di mana akun-akun fiktif menawarkan jasa seksual secara eksplisit, sementara mucikari digital berperan sebagai perantara antara pelanggan dan korban. Kedua, eksploitasi dan pemaksaan, yang mencakup ancaman penyebaran informasi pribadi, pemerasan, atau pemaksaan ekonomi terhadap korban. Ketiga, transaksi dan pembayaran, yang dilakukan secara digital untuk menghindari deteksi oleh aparat penegak hukum. Fenomena ini mengindikasikan bahwa prostitusi online tidak hanya merupakan pelanggaran moral, tetapi juga masuk dalam kategori tindak pidana, khususnya perdagangan orang dan eksploitasi seksual berbasis teknologi. Secara hukum, Indonesia telah mengatur ketentuan terkait perdagangan orang dalam UU TPPO No. 21 Tahun 2007. Dalam Pasal 2 Ayat (1), disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, atau penampungan seseorang dengan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi dapat dipidana hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp600 juta. Selain itu, Pasal 12 menyatakan bahwa setiap orang yang memanfaatkan korban TPPO untuk keuntungan ekonomi atau seksual dapat dipidana hingga 5 tahun penjara. Berdasarkan ketentuan ini, jika Me Chat digunakan sebagai sarana perdagangan orang dalam konteks eksploitasi seksual, maka pihak yang merekrut korban, mucikari digital, hingga pelanggan dapat dijerat secara hukum.
Selain UU TPPO, UU ITE No. 1 Tahun 2024 juga mengatur larangan penyalahgunaan teknologi untuk tujuan ilegal. Pasal 27 Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan muatan yang melanggar kesusilaan dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar. Kemudian, Pasal 45 Ayat (1) menetapkan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 27 dapat dijerat dengan pidana yang sama. Dengan demikian, jika seseorang menggunakan Me Chat untuk mengiklankan layanan prostitusi atau menyebarkan konten eksplisit, maka ia dapat dijerat berdasarkan ketentuan UU ITE ini. Lebih lanjut, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberikan perlindungan bagi korban eksploitasi seksual, termasuk mereka yang terjerat dalam prostitusi online. Pasal 10 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan eksploitasi seksual komersial dengan menggunakan teknologi informasi dapat dipidana hingga 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Sementara itu, Pasal 24 menegaskan bahwa korban eksploitasi seksual berhak mendapatkan perlindungan hukum, rehabilitasi, dan kompensasi dari negara. Berdasarkan UU ini, korban eksploitasi seksual dalam prostitusi online berhak mendapatkan perlindungan hukum serta rehabilitasi psikososial dan ekonomi.
Dalam konteks perlindungan korban, terdapat beberapa langkah hukum yang dapat diakses oleh individu yang mengalami eksploitasi seksual melalui aplikasi Me Chat. Pertama, korban dapat melaporkan kasus ini ke Kepolisian, Komnas Perempuan, atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Aparat penegak hukum memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini dengan menelusuri transaksi digital serta aktivitas di dalam aplikasi terkait. Kedua, berdasarkan UU TPKS, korban berhak mendapatkan rehabilitasi psikologis dan sosial dari lembaga negara maupun organisasi non-pemerintah yang berfokus pada perlindungan korban kekerasan seksual. Ketiga, korban dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas eksploitasi yang dialaminya, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU TPPO dan Pasal 24 UU TPKS. Kasus prostitusi online melalui aplikasi Me Chat menunjukkan bahwa teknologi digital semakin sering digunakan untuk mendukung praktik perdagangan orang dan eksploitasi seksual. Dengan adanya UU TPPO, UU ITE, dan UU TPKS, pelaku yang terlibat dapat dijerat dengan hukuman pidana yang berat, sementara korban berhak mendapatkan perlindungan dan pemulihan dari negara. Oleh karena itu, diperlukan penguatan regulasi, edukasi digital, serta kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan platform digital untuk mencegah penyalahgunaan aplikasi dalam kejahatan seksual berbasis online. Dengan langkah ini, diharapkan penegakan hukum dapat berjalan lebih efektif dalam memberantas prostitusi online serta memberikan keadilan bagi korban yang telah dieksploitasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI