Salah satu persyaratan utama pelaksanaan sistem demokrasi adalah partisipasi aktif rakyat dalam proses pemerintahan. Masyarakat memperoleh akses ke dalam sistem pemerintahan melalui partisipasi dalam pemilihan pemimpin mereka. Dalam konteks negara dengan Lembaga Perwakilan Rakyat, keinginan rakyat diwakili oleh anggota lembaga tersebut. Pemilihan umum (Pemilu) menjadi sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Oleh karena itu, penyelenggaraan Pemilu harus memenuhi prinsip-prinsip seperti langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas penyelenggara Pemilu menjadi kunci terwujudnya proses demokratis.
Akuntabilitas dalam konteks ini mencakup tanggung jawab politik dan hukum. Setiap pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu harus mempertanggungjawabkan tugas dan kewenangannya kepada publik, baik secara politik maupun hukum. Tanggung jawab politik melibatkan penjelasan kepada masyarakat tentang fungsi dan alasan tindakan yang diambil, sedangkan tanggung jawab hukum melibatkan proses penegakan hukum sesuai dengan asas praduga tak bersalah dan asas due process of law. Pentingnya penyelenggaraan Pemilu oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah menjadi prasyarat vital dalam sistem demokrasi. Namun, permasalahan muncul terkait dengan adanya berbagai tindak pidana yang merajalela di berbagai daerah selama Pemilihan Calon Pemimpin. Hingga saat ini, sulit untuk mendapatkan bukti tertulis guna memprosesnya secara hukum. Hukum di Indonesia mewajibkan adanya bukti tertulis untuk mengajukan seseorang ke pengadilan dengan tuduhan pelanggaran hukum dalam pemilihan kepala daerah. Banyak pihak meyakini bahwa pemilihan kepala daerah memiliki potensi memicu konflik di masyarakat. Potensi konflik ini dapat berasal dari karakteristik politik lokal dan tingkah laku elit atau pemilih yang belum sepenuhnya kondusif bagi penyelenggaraan pemilihan langsung. Sumber potensi konflik juga terkait dengan kelemahan pada beberapa ketentuan dalam peraturan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kelemahan ini terdeteksi dalam seluruh siklus Pilkada, mulai dari tahap persiapan hingga setelah Pilkada. Ketentuan Pilkada belum sepenuhnya berfungsi sebagai aturan main untuk membatasi tingkah laku pemilih, pendukung, dan kandidat Pilkada. Konsekuensinya, peraturan perundang-undangan berpotensi gagal berfungsi sebagai mekanisme penegakan hukum dalam penyelenggaraan Pilkada.
Dalam menghadapi perkembangan politik dan tuntutan kebebasan berdemokrasi, rumusan tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap tidak lagi memadai. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai bentuk-bentuk tindak pidana dalam Pemilu berdasarkan banyaknya tindak pidana yang terjadi selama masa pemilu dan menjadi bentuk pidana khusus. Pemilu di Indonesia adalah sarana pemenuhan demokrasi, perwujudan asas kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menetapkan bahwa pemilu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Oleh karena itu, pemilu merupakan bentuk dari penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup pemilihan anggota legislatif dan eksekutif. Berdasarkan UU Pemilu, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu berhak dan wajib memilih, melaksanakan hak politiknya melalui pemilihan umum yang dijamin keadilannya. Oleh karena itu, setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Hak memilih ini merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia yang telah mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun. Pemilihan umum harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan umum juga harus dilaksanakan secara berjenjang, yaitu pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden dan/atau wakil presiden. Dalam Pemilu, pemilih diberikan kebebasan untuk memilih partai politik atau gabungan partai politik dan/atau calon anggota legislatif, presiden, dan/atau wakil presiden yang menjadi pilihannya. Dalam Pemilu, yang menjadi objek pemilihan adalah warga negara yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bentuk-bentuk Tindak Pidana dalam Pemilu:
1. Politik Uang
- Definisi: Praktik memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih atau pihak terkait untuk mempengaruhi hasil pemilu.
- Ancaman Hukuman: Pasal 187A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
2. Pemalsuan Dokumen Pemilu
- Definisi: Tindakan memalsukan dokumen, surat suara, atau hasil pemilu untuk memanipulasi hasil pemilu.
- Ancaman Hukuman: Pasal 187B Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
3. Intimidasi dan Kekerasan Politik
- Definisi: Penggunaan ancaman, kekerasan, atau tekanan fisik untuk memengaruhi pemilih atau menekan peserta pemilu.
- Ancaman Hukuman: Pasal 187C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
4. Kampanye Hitam (Black Campaign)
- Definisi: Menyebarluaskan informasi palsu atau menyesatkan untuk merugikan calon atau partai tertentu.
- Ancaman Hukuman: Pasal 187D Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
5. Pelanggaran Administrasi Pemilu:
- Definisi: Pelanggaran aturan administrasi pemilu yang dapat merugikan proses pemilihan.
- Ancaman Hukuman: Pasal 187E Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
6. Penggunaan Identitas Ganda
- Definisi: Menggunakan identitas ganda atau melakukan tindakan yang dapat merugikan integritas pemilu.
- Ancaman Hukuman: Pasal 187F Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
7. Politik Sarat Ras dan Agama
- Definisi: Memanfaatkan isu ras atau agama untuk memperoleh dukungan atau merugikan peserta pemilu.
- Ancaman Hukuman: Pasal 187G Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.