Mohon tunggu...
Tu-ngang Iskandar
Tu-ngang Iskandar Mohon Tunggu... -

mahasiswa seni rupa, penganut kebebasan berfikir dan pecinta kopi Aceh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kijang dan Ular Selamatkan Warga Kelud

14 Februari 2014   10:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:50 2022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alasan bahwa sejak gunung Kelud menjadi daerah wisata dan habitat hewan sudah membaur dengan manusia sehingga turunnya binatang tidak dapat dijadikan tanda, walaupun menjadi sikap pesimisme, juga merupakan suatu indeks terhadap adanya krisis pada sistem pertandaan di gunung Kelud itu sendiri, sehingga dibutuhkan tata ulang terhadap tanda. Sikap pesimis tersebut bisa dilihat dari ungkapan “Kecuali dulu, tapi kalau sekarang tidak bisa digunakan sebagai indikator. Di dekat pos pantau di sini saja juga ada kijang, Begitu juga di dekat permukiman rumah, tentu juga ada ular” oleh Kepala Pos Pemantau Gunung Kelud Khairul Huda seperti dikutip pada koran sindo (12/2/2014).

Namun demikian, beberapa warga lerengGunung Kelud mengakumelihat hewan kijang dan ular yang turun gunung, mereka masih mempercayai bahwa fenomena turun gunung hewan-hewan adalah sinyal yang sangat khas untuk mengetahui kondisi gunung. Untuk itu, mereka yang percaya bahwa turunnya binatang merupakan petanda akan meletusnya gunung Kelud memutuskan untuk mengungsi sebelum Kelud benar-benar meletus pada kamis malam (13/2/1024), sedangkan yang tidak percaya masih berada di sekitar gunung hingga kemudian panik saat Kelud mengeluarkan lahar panasnya.

Meski bukan satu-satunya tanda, fenomena binatang liar turun gunung merupakan suatu penanda yang paling mudah dipahami masyarakat. Keberadaan binatang khas setempat yang turun gunung sebagai sistem pertandaan untuk menjelaskan bahwa gunung akan meletus telah dipercayai secara konvensional sejak lama oleh masyarakat Indonesia, seperti fenomena turunnya macan tutul di gunung merapi dan kambing gunung pada gunung sinabung.

Adanya krisis pada salah satu kearifan lokal masyarakat gunung tersebut disebabkan oleh semakin gencarnya perburuan binatang liar oleh warga yang tidak paham fungsi dari binatang-binatang tersebut secara luas. Maka dalam hal ini, pemerintah setempat harus memiliki kesadaran untuk melarang perburuan liar dan menata ulang sistem tanda yang berasal dari kearifan masyarakat gunung, agar fenomena pesimis terhadap tanda tidak menjangkiti masyarakat secara luas hingga menimbulkan keresahan akan ancaman-ancaman gunung selanjutnya.

Fenomena tidak turun gunung binatang liar karena dipengaruhi pengelolaan objek wisata seharusnya bukan menjadi boomerang atas krisis tanda bagi masyarakat gunung, dengan alasan bahwa perilaku pada binatang yang telah dijinakkan pun juga bisa dimanfaatkan sebagai penanda atas suatu kejadian yang akan berlangsung, asalkan pengetahuan tentangnya dipelajari hingga kemudian disosialisasikan menjadi konvensi baru atas tanda.

Kesadaran semua pihak memang amat dibutuhkan untuk menata atau mengembangkan sistem pertandaan dalam wilayah kearifannya masing-masing, karena setiap tanda amat berguna bagi keselamatan harta benda dan nyawa dari manusia itu sendiri, sedangkan kepekaan tentang tanda hanya dimiliki binatang-binatang yang kadangkala kita anggap musuh bersama. semoga cepat kita bisa belajar pada alam, binatang dan segala yang menghubungkan kita dengan petunjuk Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun