Dewasa ini, globalisasi sebagai sebuah usaha penyatuan ruang-ruang telah menuju masa-masa kejayaannya, Hal ini bisa dilihat dari melemahnya bahasa-bahasa verbal bangsa minoritas di dunia dan menguatnya bahasa mayoritas sebagai sebuah keberhasilan wacana global atau bisa dikatakan sebagai hegemoni terencana barat terhadap negara-negara yang di kategorikan timur.
Kondisi inilah yang telah menyebabkan kekacauan pada struktur pemikiran dan iklim sosial masyarakat kita di Indonesia. Hal ini bukan tanpa alasan karena bahasa verbal bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses berfikir manusia, baik dalam memahami dunia luar secara objektif maupun imajinatif. Untuk itu, bahasa yang merupakan perwujudan dari abstraksi pemikiran ini juga merupakan wacana bagi pertahanan identitas diri manusia dalam hidup dan berfikir. Karena kekacauan bahasa akan menyebabkan berkabutnya komunikasi sampai sesatnya penafsiran dan kesimpulan. Hal ini pada akhirnya akan menciptakan suasana yang tidak nyaman dan konflik yang berkepanjangan hingga kemungkinan jalan-jalan dialogis yang gagal. seperti konflik-konflik yang telah terjadi di Indonesia.
Terancamnya bahasa-bahasa daerah di Indonesia tidak lepas juga dari pengaruh bahasa mayoritas, yaitu adanya hegemoni dan pembentukan opini publik oleh beberapa golongan, hal ini bisa kita lihat contohnya di dalam stetmen politik beberapa orang didalam sumpah pemuda, fenomena yang berkembang di kota-kota besar, contohnya sebutan kampungan bagi yang berbicara bahasa daerah yang justru melahirkan bahasa jakartaan, lalu diikuti sosialisasi berbahasa indonesia yang baik dan benar yang melahirkan bahasa Indonesia logat daerah. namun, persoalan ini rupanya juga belum selesai, pola menggurui dan menghantui justru datang dari dalam daerah sendiri yaitu berupa ejekan bagi yang masih berbahasa dalam logat kental daerah.
Gambaran tersebut kemudian telah membuka pandangan kita terhadap hamparan situasi ketidakpedulian dan rasa tidak empati untuk bahasa verbal di daerah-daerah. Namun sebaliknya, kondisi ini justru telah membuka peluang bagi bangkitnya bahasa tanda (semiotika) atau bahasa non verbal seperti simbol, isyarat, atau yang benbentuk visual di dalam masyarakat. ini bisa kita lihat dari semakin banyaknya simbol , rambu, dan bahasa visual baru-baru ini. dan terlepas dari itu semua, bahasa ini memang sudah berkembang di Indonesia berabad-abad lamanya, ini bisa kita lihat dari adanya lukisan-lukisan pada goa-goa, candi-candi dan pada beragam corak ornamen dan simbol lainnya. maka dapat kita artikan bahwa perlawanan bahasa verbal dan non verbal adalah merupakan sebuah upaya mendapatkan bahasa universal yang terjadi secara alami akibat adanya pemaksaan globalisasi. intinya, bahasa non verbal merupakan bahasa pemersatu masyarakat dunia, sejak dari zaman dulu sampai kiamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H