Mohon tunggu...
tsyta
tsyta Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerakan #Metoo dan Kekerasan Seksual

8 Februari 2019   10:10 Diperbarui: 8 Februari 2019   10:51 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

'If you have been sexually harassed or assaulted write 'me too' as a status', ungkapan tersebut yang pertama kali  akan menggambarkan tulisan ini. Dewasa ini di media sosial khususnya muncul sebuah gerakan baru yaitu dengan menggunakan hashtag atau tagar #MeTOO. 

Gagasan ini dimunculkan untuk menghighlight perlakuan-perlakuan yang tidak pantas dilakukan terutama terhadap wanita atau mungkin pria dan juga memberikan pelajaran bagi para pelaku dan merupakan upaya pencegahan timbulnya korban-korban yang sama di hari berikutnya. 

Tagar #MeTOO menjadi viral di media sosial belakang hari ini menyusul dengan munculnya sejumlah dakwaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser ternama Hollywood Harvey Weinstein, setelah aktrisnya Alyssa Milano mempopulerkan hashtag itu, ribuan orang terutama perempuan mulai berbagi cerita mengenai akibat dan pengalaman pelecehan seksual yang mereka alami. Dalam tagar ini, semua orang bebas mengungkapkan pengalaman pahit akan pelecehan yang pernah mereka alami. Dan tujuan dari gerakan ini yaitu untuk  meng-encourage lebih banyak lagi korban pelecehan seksual untuk mengungkapkan identitas dan perlakuan di pelaku pelecehan.

Pelecehan seksual terjadi bukan karena nafsu semata, melainkan adanya kesempatan dan utamanya adanya pengaruh dan kekuatan salah satu pihak yang lebih kuat sehingga bisa memaksa para korbannya untuk menerima perlakuan semacamnya. Gerakan #MeTOO ini viral karena gerakan ini diperuntukan untuk semua orang yang pernah mengalami pengalaman buruk serupa bukan hanya untuk mereka yang memiliki nama terkenal.

Diantara para pelaku pelecehan seksual adalah mereka yang memiliki pengaruh pada tempatnya, dan orang yang biasa dekat akan menjadi korban finansial dari perlakuan mereka, para orang berpengaruh tersebut kerap menyeret perusahaan untuk ikut membiayai pembayaran uang tutup mulut itu. Namun tidak dipungkiri di Indonesia khususnya banyak terjadi pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan dengan pelaku yang tidak memiliki status sosial yang jelas. Pelecehan seksual seolah telah menjadi sebuah budaya yang biasa saja dan gerakan #MeTOO ini diharapkan akan menghentikan budaya jelek tersebut.

Gerakan ini adalah sebuah gerakan untuk mendukung mereka para korban yang selama ini memilih untuk berdiam diri untuk mulai berbagi pengalamannya. Gerakan ini diharapkan berhasil membuat mereka yang berkuasa takut untuk menggunakan kekuasaanya guna mendapatkan kepuasan seksual dengan memaksa korbannya.

Korban pelecehan seksual tidak hanya mengenai kaum wanita saja, beberapa lelaki juga ikut meramaikan gerakan #MeTOO ini, yang perlu diingat pelecehan seksual terjadi karena adanya kesempatan dan power orang yang berkuasa. 

Gerakan ini juga bisa membantu mengumpulkan data di saat kekerasan atau pelecehan seksual masih terlalu jarang dilaporkan. Menurut Statistics Canada's General Social Survey on Canadians's Safety, dari semua serangan seksual di mana penyerangnya bukan pasangan penyintas, hanya satu dari 20 tindakan tersebut dilaporkan ke kepolisian, sementara untuk tipe tindakan kriminal lainnya, tingkatannya adalah satu dari tiga.

Sebab meski banyak orang yang mengakui bahwa kekerasan seksual sering terjadi, masih ada stigma seputar perempuan yang tetap disalahkan karena mendatangkan kesempatan. Namun gerakan apapun yang mengandalkan para penyintasnya demi tujuan menyadarkan orang-orang atas masalah ini bernilai sangat problematis. Langkah tepat untuk kedepannya bukan hanya membahas tentang siapa yang menyerang atau kondisi diam yang akan menjadi hal buruk. Tapi mengharapkan korban untuk berpartisipasi dalam gerakan seperti ini sangatlah berbahaya, bagi setiap penyintas yang menjadi korban diserang atau dilecehkan, setidaknya ada seorang penyerang dan korban dan merekalah yang harus dimintai pertanggungjawabannya. Harusnya para korban tidak harus berulang kali membuktikan pengalaman buruk mereka untuk mendapatkan perhatian dan kepercayaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun