Hari minggu pagi harusnya menjadi saat yang tepat untuk menghirup udara segar sambil menenangkan pikiran. Tapi kamu sebaiknya jangan melakukan itu di Jakarta. Belakangan ini sedang heboh-hebohnya pembahasan mengenai kualitas udara di Jakarta yang berada di tingkat mengkhawatirkan. Pasalnya berdasarkan data dari IQAir pada Minggu (13/08/2023), indeks kualitas udara di Jakarta mencapai angka 170 dengan kategori tidak sehat dan ditandai dengan indikator berwarna merah.
Angka tersebut membuat Jakarta jadi kota dengan udara terburuk di dunia. Serem banget, kan. Memburuknya kualitas udara di Jakarta juga diperparah dengan musim kemarau yang saat ini lagi tinggi-tingginya. Musim kemarau ini diperkirakan akan berlangsung dari bulan Juli sampai September mendatang.
Nah, salah satu usulan Pemprov DKI untuk mengurangi emisi pencemaran udara di Jakarta adalah dengan menggencarkan penggunaan transportasi umum. Dengan ini diharapkan emisi karbon dari kendaraan akan berkurang dan memperbaiki kualitas udara. Tapi apa benar kalau kendaraan bukan penyumbang emisi karbon terbesar? Lalu, apakah solusi ini merupakan langkah yang efektif? Yuk, kita bahas.
Siapa sebenarnya 'biang kerok' penyumbang emisi karbon terbesar?
Sebenarnya kendaraan hanya salah satu penyumbang emisi dalam skala nasional. Namun, bukan penyumbang emisi karbon terbesar. Dilansir dari CNBC Indonesia, bahan bakar minyak dan batu bara bukan penyebab terbesar emisi karbon di Indonesia. Menurut Faisal Basri, seorang ekonom senior, justru emisi karbon di Indonesia paling besar berasal dari aktivitas industri, seperti pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya. Hampir setengah dari emisi karbon di Indonesia berasal dari sektor tersebut, tepatnya sebesar 55%.
Terdapat sekitar 3 juta lahan sawit ilegal di Indonesia yang berkontribusi besar dalam menyokong emisi karbon di Indonesia. Lahan-lahan sawit ilegal ini seharusnya dimanfaatkan sebagai hutan, bukan untuk perkebunan komersil, tutur Faisal Basri. Belum lagi dari industri lainnya, seperti pabrik, sampah rumah tangga, dan lain-lain.
Di Jakarta sendiri, transportasi dan kendaraan bermotor memang masih menjadi juara dalam menyumbang emisi karbon. Jumlah transportasi pribadi yang membludak, berarti gas pembuangannya juga semakin banyak. Akibatnya, kualitas udara di Jakarta sangat buruk dan penuh dengan polusi. Terlebih, Jakarta merupakan pusat kota dengan aktivitas yang tidak ada hentinya. Bayangkan jika sekitar 11 juta penduduk Jakarta menghirup udara dengan kualitas seperti ini setiap harinya. Penyakit pernapasan tentu menjadi ancaman yang mengerikan. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu untuk membenahi masalah ini.
Apa solusi terbaiknya?