Mohon tunggu...
Tsananiyatus Salamah
Tsananiyatus Salamah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

apaayaaaa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan Hidup Sebelum Menuju Perguruan Tinggi

13 Agustus 2024   14:58 Diperbarui: 13 Agustus 2024   15:02 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hai guyssss perkenalkan nama saya Tsananiyatus salamah,atau biasa dipanggil nisa. Saya berasal dari daerah kecil yang berada di jawa tengah, tepatnya di Demak pada tahun 2003 dan inilah awal mula kisahku. Saya dibesarkan ditengah tengah keluarga yang sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. Saya bersekolah di sekolah swasta di dekat rumah saya. Mengapa demikian? Karena dulu orang tua saya tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan saya di sekolah yang cukup elite dan cukup jauh dari rumah dimana juga teman teman saya sekolah disana. Saya cukup iri melihat teman teman saya, tetapi saya sangat bersyukur masih bisa sekolah dengan layak. 

Dari mulai kecil lingkungan hidup saya sudah toxic, karena rumah saya terletak di dekat laut yang mayoritas penduduknya bersuara keras, lantang, nan kasar. Tetapi, lagi dan lagi saya harus bersyukur karena, dari laut itulah ayah saya bekerja sebagai seorang nelayan yang penuh tanggung jawab terhadap keluarganya. Ayah saya mampu membiayai 6 orang anak sampai ke bangku kuliah, saya sangat bangga kepada ayah saya, ia sesalu mengusahakan yang terbaik demi anak dan istrinya, alfatihah buat ayah saya . Tak lupa dengan ibu saya, ia cuma seorang ibu rumah tangga yang telah mengabdikan hidupnya demi hidup saya dan keluarganya. Saya bangga kepada ibu saya.


Ketika menginjak bangku sekolah dasar atau biasa disebut SD, saya sangat ingin menyerah dan merajuk tidak lagi ingin berangkat sekolah, karena saya terlalu sering mendengar hinaan teman-teman dan tetangga saya. Karena saya tidak memiliki sepeda seperti pada anak umumnya. Ibu saya selalu menasehati saya, beliau berkata jika tidak ada kesuksesan tanpa usaha. Saya belum terlalu paham apa yang dikatakan beliau karena umur saya yang masih sangat kecil. Saya tidak mau menyerah begitu saja, saya selalu ingat bagaimana susahnya ayah saya mencari uang untuk membiayai sekolah saya. Saya terus berusaha belajar, belajar, dan belajar. Memang benar yang dikatakan pepatah, usaha tidak akan menghianati hasil. Saya selalu mendapat peringkat ke 2 dari saya kelas satu SD sampai kelas 6. Itu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya, walaupun banyak yang bilang bahwa peringkat itu tidak penting, setidaknya saya bangga pada diri saya sendiri. 

Ayah dan ibu saya sangat bangga, setiap saya mendapat peringkat, mereka selalu memberikan saya hadiah walaupun cuma sebatas kotak pensil ataupun botol minum. Tidak seperti teman saya yang lain, mereka selalu mendapat hadiah sepeda, ataupun handphone, tetapi saya sangat senang karena ayah dan ibu saya selalu mensupport saya. Mendapat peringkat 2 dari kelas satu sampai 6 SD adalah pengalaman terbaik saya ketika belajar dibangku sekolah dasar. Proud of me.


Ketika saya beranjak SMP, saya pun masih belajar didekat rumahku. Lagi dan lagi soal biaya, ayah saya tidak mampu menyekolahkan saya di sekolah yang cukup elite. Tetapi itu tak masalah bagi saya dan tidak menyurutkan semangat saya dalam mencari ilmu. Saya mendapat teman teman yang baik dan supportive. Kita selalu berangkat sekolah bersama, pulang sekolah bersama, jajan di kantin bersama, dan bahkan kita mengikuti ekstra kurikuler yang sama. Mereka selalu baik kepada saya, waktu kita belum memiliki sepeda untuk pulang pergi sekolah, kita selalu berjalan kaki bersama, ketika dia sudah memiliki sepeda pun ia tetap mengajak saya pulang pergi bersepeda dengannya. "Semoga tuhan membalas kebaikanmu temanku". Di bangku SMP, saya tidak begitu berambisi terhadap belajar saya, karena saya harus membagi waktu dan pikiran saya dengan ekstra kurikuler yang saya ikuti dan organisasi yang saya ikuti. 

Semenjak SMP saya tidak pernah mendapatkan peringkat 2 lagi, tetapi saya mendapatkan peringkat 3 terkadang juga 4, tetapi masih dalam lingkup 5 besar. Apakah ibu dan ayah saya memarahi saya? Jelas tidak. Mereka selalu mendukung saya dan mengizinkan saya mengikuti ekstra kurikuler, lomba, yang saya inginkan. Walaupun di bangku smp saya tidak mendapatkan rangking seperti waktu SD, tetapi saya sangat bangga terhadap diri saya sendiri. Toh peringkat juga bukan patokan apakah orang tersebut pandai. Orang yang pandai adalah orang yang dapat memanfaatkan kesempatan dan orang yang bermanfaat bagi orang lain.


Tiga tahun lalu, tepatnya saya berada di bangku SMA, ayah saya memutuskan untuk menyekolahkan saya di pondok pesatren di kota Rembang. Di kota ini, saya mendapat banyak pembelajaran yang dapat saya ambil, mulai dari harus menghargai orang lain yang berlatar belakang berbeda dengan saya, menghargai waktu, dan ada banyak hal lainnya. Di kota ini, awalnya saya takut. Takut gagal, takut tidak betah karena harus jauh dari rumah, takut mengecewakan orang tua saya, takut untuk berkenalan dengan orang baru. Tapi aku mencoba memberanikan diri untuk melebur dengan orang orang yang baru saya kenal. Saya sangat senang dipertemukan dengan mereka, mereka baik, mereka terbuka, mereka selalu mengenalkan saya hal-hal baru yang positive. Namanya hidup, kita tidak selalu bahagia, saya dan teman saya pernah merasakan hal yang tidak pernah kami duga. Kita pernah merasakan makan cuma nasi dengan kerupuk, kita pernah kelaparan karena orang tua kita telat transfer, kita pernah merasakan dihina sama temen temen kita yang dapat dikatakan orang berada. 

Suka duka telah kami lewati, tetapi itu tak menjadikan tekat kami untuk mencari ilmu di kota orang. Kita belajar dengan tekun dan alhamdulillah kita sama sama lulus dengan nilai yang cukup baik. Mencari ilmu jauh dari keluarga, jauh dari rumah membuatku sadar, bahwa jauh dari rumah dan orang tua tak selalu enak, aku harus bertahan merantau di kota orang, saya harus kuat ketika mendengar hinaan hinaan dari orang-orang di sekitar saya, saya harus bisa belajar mandiri dan tidak selalu mengandalkan orang tua saya, saya harus bertahan ketika saya sedang sakit, tanpa ada orang tua yang mengurus saya. Saya sempat berpikir bahwa saya akan keluar dari pesantren, karena saya tidak betah pada waktu itu. Takut mengecewakan orang tua saya, saya pun akhirnya bertahan dan menyelesaikan pendidikan saya di pesantren. Pahit manis ini adalah pengalaman saya dalam dunia pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun